Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nalar Syariah dan Gugatan "Qanun Jinayah" Aceh

24 Oktober 2017   14:24 Diperbarui: 24 Oktober 2017   14:36 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menarik melihat ada sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi Qanun Jinayat yang meminta pemerintah meninjau ulang Perda Syariat Islam di Aceh soal beberapa kasus hukuman pidana (jinayat) yang berpotensi melanggar HAM. Sejauh ini, masyarakat Indonesia tentu mengetahui, bahwa Aceh merupakan satu-satunya wilayah Istimewa yang diizinkan pemerintah pusat membuat ranah kekuasaan tersendiri, baik dari unsur legislatif, eksekutif dan tentu saja yudikatif. 

Perjanjian Helsinki seakan membawa dampak besar bagi masyarakat Aceh, dimana konflik berkepanjangan antara sekelompok bersenjata dengan militer, berakhir sudah. Akhir dari konflik berkepanjangan tentu saja bargaining, Aceh diizinkan membuat aturan dan berbagai lembaga politik tersendiri disesuaikan dengan kecenderungan masyarakatnya.

Perda Syariat Islam tentu saja dipilih oleh masyarakat Aceh dengan beragam perangkatnya dan berlaku secara khusus hanya untuk masyarakat setempat. Salah satunya adalah Qanun Jinayat (undang-undang pidana) yang telah diberlakukan secara resmi oleh pemerintah Aceh sejak Oktober 2015, yang tentu saja mengatur berbagai tindak pelanggaran yang dilakukan masyarakat lalu disesuaikan dengan aturan-aturan syariat hukum Islam. 

Dalam syariat Islam, misalnya diatur hukuman berupa cambuk atau denda kepada seseorang yang melanggar asusila, seperti berkhalwat (berduaan lain jenis di tempat sepi) atau perzinaan yang menghadirkan saksi lebih dari dua orang. Sejauh ini, hukuman cambuk yang dijalankan didepan publik terhadap para pelanggar ini, kemudian dipersoalkan oleh sekelompok masyarakat, karena dinilai telah melanggar HAM.

Koran Tempo (24/10/17) melansir, bahwa Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) telah merilis data hukuman cambuk kepada sebanyak 339 orang terpidana sejak Januari hingga November 2016. Sedangkan pada tahun ini, Mahkamah Syariah Aceh telah mengeksekusi 188 orang dengan hukuman yang sama, sehingga, bagi sekelompok masyarakat, hal ini jelas telah terjadi pelanggaran HAM akibat dari aturan hukum yang diberlakukan di wilayah Serambi Mekah ini.

Melihat fenomena hukuman berdasarkan syariat ini, tentu saja menarik, terlebih ditengah menguatnya fraksi-fraksi di DPR untuk menyepakati Perpu Ormas untuk dijadikan undang-undang. Tentu saja bukan pada persetujuan soal Perpunya, tetapi lebih kepada "nalar politik" yang ada di setiap kesepakatan pemberlakuan sebuah aturan perundang-undangan, tidak semata-mata "kesepakatan" bersifat manusiawi.

Bagi saya, syariat merupakan sebuah "produk hukum" Islam yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang-surut, karena menyesuaikan dengan nalar yang hidup mengitari dalam sebuah masyarakat dan waktu tertentu. Syariat bukan merupakan produk hukum yang berdiri sendiri, sehingga kemudian ketetapannya harus diterima dan diikuti sebagai bentuk hukum pasti yang tak mungkin bisa diubah. 

Merujuk pada pendapat As-Sihristani dalam kitabnya, "al-Milal wan Nihal", berbicara soal syariat harus berjalin kelindan dengan pengetahuan tentang agama (diin), millah, minhaj al-Islam, hanifiyyah, sunnah dan jama'ah. Setiap hal yang disebutkan diatas, tentu saja memiliki makna berbeda, tetapi justru saling memiliki keterkaitan yang sangat erat. Berbicara syariat dalam konteks kekinian, berarti dia berbicara agama (Islam) dan setiap umat manusia tentu saja memiliki syariatnya sendiri-sendiri.  

Setiap kelompok diantara manusia, tentu saja akan bersepakat ketika bergabung membentuk sebuah ikatan kemanusiaan (jama'ah) yang didahului oleh dibuatnya aturan-aturan bersama yang disepakati sebagai bentuk kebutuhan antara satu dan lainnya. Kebutuhan bersama ini tentu saja dalam hal mencegah, mewajibkan, melarang atau bahkan menghukum siapapun yang telah sepakat dalam jalinan komunitas tersebut. Bentuk kesepakatan bersama ini dalam sejarah kemanusiaan sebagaimana ditulis oleh Al-Quran disebut "millah". Sedangkan cara-cara yang disebut sebagai jalan menuju "kesepakatan bersama" dikenal dengan istilah "minhaj" atau "syariat" atau "sunnah".

Syariat dengan demikian berarti "cara" atau "jalan" menuju sebuah kesepakatan bersama dalam sebuah komunitas manusia. Sebuah cara atau jalan tentu saja berbeda-beda dalam mencapai tujuan utama yang dijalankan setiap orang, tak ada cara yang sama secara umum dalam menempuh sebuah perjalanan, karena itu merupakan "kebebasan individu" setiap manusia. Oleh karenanya, Al-Quran menegaskan, "setiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang" (likullin ja'alna minkum syir'atan wa minhajan). 

Bagi saya, disinilah letak nalar syariat, bahwa syariat dibentuk atas dasar kesepakatan bersama, berasal dari norma dan nilai yang hidup dalam sebuah masyarakat tersebut. Maka, ketika Aceh dengan Perda Syariat Islam-nya sudah merupakan kesepakatan bersama, maka tentu saja itu merupakan hak warga Aceh yang harus dihormati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun