Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengawal Gubernur Baru Jakarta, Bukan Menagih Janji

16 Oktober 2017   10:49 Diperbarui: 16 Oktober 2017   12:24 5223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ucapan selamat atas Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru sudah sejak jauh-jauh hari diungkapkan, karena sejak hari ini, mereka seharusnya akan dilantik secara resmi oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara. 

Dalam lingkup masyarakat demokratis, penerimaan kedua pemimpin Jakarta ini sudah seharusnya diapresiasi, mengingat keduanya terpilih dalam sebuah pemilu yang jujur, adil dan tentu saja bermartabat. Gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat, telah sukses meletakkan dasar-dasar kepemimpinan yang jujur dan adil bagi kemajuan masyarakat Jakarta. 

Hal inilah yang semestinya ditangkap sebagai tradisi kepemimpinan baik yang harus dilanjutkan oleh gubernur baru terpilih. Seperti halnya yang terjadi pada kepemimpinan sebelumnya, kepemimpinan baru di Jakarta harus terus dikawal, bukan menagih janji kampanye yang hampir di setiap kepemimpinan dimanapun sekadar menjadi "pemanis" disaat mereka terjun dalam arena kontestasi.

Bagi saya, soal "janji politik" sejatinya merupakan rangkaian sebuah "ideal type" yang bisa saja tak terpenuhi selama masa kepemimpinan seseorang, tetapi bisa dilanjutkan oleh kepemimpinan berikutnya. Di sinilah letak pentingnya sebuah estafet, perjalanan pemimpin yang sadar politik, terus dinamis dalam menangkap setiap perubahan ke arah jenjang yang lebih maju dan baik. 

Pemimpin yang terpilih secara demokratis dalam sebuah ajang kontestasi lima tahunan, merupakan pemimpin "kolegial" bukan figur individualistik, yang seringkali dipahami banyak orang bahwa seseorang yang terpilih kemudian merupakan perpanjangan parpol, afiliasi politik, atau kepentingan satu kelompok atau golongan tertentu. Memandang pemimpin politik dalam lingkup sempit secara individualistik, justru semakin mempersempit mindset kita pada akhirnya, sekadar pro atau kontra kepada pemimpin yang secara emosional tidak kita sukai.

Setiap warga Jakarta tentunya harus sadar, bahwa kepemimpinan akan senantiasa berotasi silih berganti, melanjutkan estafet kepemimpinan dari sebelumnya yang tentu saja berupa program-program pembangunan dan perbaikan yang selalu butuh penyelesaian. Parahnya, kadang yang bukan warga Jakarta seringkali malah lebih peduli mengkritisi sosok gubernur baru, dibanding warga Jakartanya sendiri, entah itu menagih janji politik, terlampau pesimis terhadap beberapa program kerja yang ditawarkan atau bahkan dinyinyiri, padahal pemimpin itu belum juga bekerja. 

Membangun Jakarta lebih baik, memang perlu para pemangku kepentingan yang secara "kolektif-kolegial" bersinergi dan saling mendukung, bukan saling menjatuhkan, sehingga iklim kondusif akan memudahkan segala macam pekerjaan rumah yang sebesar apapun atau sesulit apapun. Memudahkan jalan bagi para pemimpin baru, jelas akan berdampak pada iklim kondisivitas yang berdampak pada proses percepatan pembangunan dalam banyak hal.

Sejauh ini, daya tarik "magnet politis" Jakarta yang terlampau besar, justru terkadang memberangus seluruh kemandirian dan kearifan cara berpikir diri kita sendiri. Hal ini tentu saja, imbas dari berbagai peristiwa politik yang melanda Ibu Kota, membentuk polarisasi masyarakat yang semakin terkepung dalam beragam segmentasi. 

Sulit memang, jika politik hanya dipahami secara sempit, sebagai "kemenangan" satu pihak dan di sisi lain "kekalahan" pihak tertentu, sehingga pada kenyataannya, mereka "yang menang" akan dianggap sebagai "penjajah" kepada mereka yang kurang beruntung secara politik. Padahal, kepemimpinan dalam bentuk kolektif-kolegial, adalah kenyataan demokratis, yang adil dan sah, sehingga siapapun yang menjadi pemimpin harus didukung sepenuhnya, dikritisi jika melenceng, ditegur bila berbuat salah, sehingga proses pengawalan akan tetap terjaga kepada setiap pemimpin politik yang ada.

Anies-Sandi yang saat ini akan dilantik, tentu saja akan menerima banyak pekerjaan berat yang sudah menjadi kewajiban mereka secara kolektif diselesaikan. Sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 juga sudah seharusnya melekat menjadi pemimpin rakyat---khususnya rakyat Jakarta---yang tak boleh tunduk atau mau didikte oleh kepentingan politik manapun. 

Setiap parpol pengusung hanyalah sekadar "kendaraan politik" yang selesai mengantarkan mereka duduk menjadi orang nomor satu di Jakarta, tidak lebih. Jikapun ada semacam kompensasi atau "kesepakatan politik" dengan parpol pengusung, harus disikapi secara wajar, karena sejatinya mereka yang diberi kompensasi akan lebur menjadi bagian dari kepemimpinan yang kolektif-kolegial. Disinilah pentingnya menyadari suatu tipe ideal dalam kepemimpinan politik yang pada akhirnya menganut satu tujuan: kesejahteraan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun