Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peran Ulama Nusantara dalam Akulturasi Islam

4 Oktober 2017   14:48 Diperbarui: 4 Oktober 2017   20:51 5283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kristian Erdianto Seorang warga Nahdlatul Ulama sedang melihat salah satu koleksi wayang yang dipamerkan saat peringatan harlah NU ke 91 pada 30-31 Januari 2017. Pertunjukkan wayang menjadi salah satu media seni yang digunakan oleh Wali Songo saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. | nasional.kompas.com

Seringkali mendengar istilah "Islam Nusantara" seakan memberikan pemahaman yang berbeda dengan Islam yang memang berasal dari "produk" Timur Tengah. Sulit untuk dipungkiri, bahwa Islam Nusantara berkembang selaras dengan penerimaan atas nilai-nilai budaya dan kearifan lokal tanpa meninggalkan jejak pertentangan sedikitpun. 

Ajaran Islam yang masuk ke Nusantara melalui ekspedisi para ulama yang bertugas sebagai misionaris (juru dakwah), paling tidak menunjukkan betapa ajaran Islam sangat akomodatif terhadap berbagai tradisi yang telah mengurat akar dalam masyarakat. Islam, dengan demikian, oleh para ulama Nusantara tidak diperkenalkan sebatas ajaran agama yang sarat ritual suci dan peribadatan, tetapi juga memiliki cita seni yang tinggi, mengedepankan nilai moralitas dan akhlak yang dibawa dan dicontohkan para ulama penyebarnya.

Sebuah peradaban, tentu saja akan maju dan berkembang ketika nilai-nilai moral dalam masyarakat  diaplikasikan dalam setiap lini kehidupannya, mengabaikannya berarti sama dengan menghancurkan peradaban dan masyarakat itu sendiri. Sebuah adagium Arab menyebutkan, "Inna mal umamu akhlaquhum ma baqiyat, fa in humu dzahabat akhlaquhum dzahabu" (peradaban akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai moral, tetapi peradaban akan hancur seiring menghilangnya nilai-nilai moralitas tersebut). Moralitas, tentu saja ajaran utama dalam Islam, bahkan Nabi Muhammad tidak lain diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak serta nilai-nilai moral yang berkembang dalam masyarakat.

Bagi saya, keberadaan Islam di Nusantara merupakan hasil dari produk akulturasi nilai-nilai moral yang ada dalam ajaran Islam dengan budaya masyarakat Indonesia yang kaya akan berbagai kearifan lokal. Sejauh ini, peran ulama penyebar Islam di Nusantara, tak bisa dilepaskan dari figur para wali sembilan atau "wali songo" yang sedemikian heroik. 

Diakui maupun tidak, para wali songo ini dalam banyak hal, berhasil mengislamkan Nusantara---terutama di Jawa---dengan metode akulturasi budaya antara ajaran Islam dengan beragam kearifan lokal tanpa melalui pertentangan. Menarik untuk melihat sisi historis wali songo ditengah perdebatan mengenai keberadaannya yang dianggap mitos atau legenda oleh sebagian mayarakat, dimana sebuah Festival Wali Songo di Surabaya secara tegas memproklamirkan, bahwa "Wali Songo bukan cuma mitos, bukan pula sebuah legenda, tapi sebuah perjuangan syiar Islam yang mewarnai sejarah perjalanan anak bangsa yang sarat dengan keteladanan".

Islam wali songo jelas memberikan keteladanan soal bagaimana berprilaku dan bersikap sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Wali Songo sangat memahami kondisi dan kultur masyarakat Indonesia yang secara umum prilakunya merupakan cermin dari nilai-nilai moral yang telah tertanam sekian lama. 

Bagi mereka, akhlak merupakan "seni" berperilaku yang dapat diserap melalui nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dalam masyarakat, sehingga hanya perlu upaya penyempurnaan yang disesuaikan dengan ajaran Islam yang saat itu sedang mereka perkenalkan. Oleh karena itu, para Wali Songo dikenal secara umum oleh masyarakat muslim Indonesia sebagai tokoh penyebar agama Islam dengan cita seninya (performing art) karena mengajarkan agama melalui beragam kegiatan seni, baik itu pertunjukan wayang, puisi maupun tembang-tembang.

Anne K Rasmussen dalam bukunya, Women The Recited Qur'an, and Islamic Music in Indonesia (2010) menyebutkan beberapa peran wali songo yang berevolusi menanamkan nilai-nilai moral ajaran Islam kedalam perwujudan budaya setempat. Sunan Drajat misalnya, diakui sebagai pegiat seni gamelan yang terkenal, seraya memberikan nuansa filosofis keislaman di sela-sela irama musik gamelan yang ditabuhnya; Sunan Kudus dikenal sebagai penemu wayang golek yang saat ini menjadi pertunjukkan seni monumental di wilayah Jawa maupun Sunda; Sunan Kalijaga, konon dikenal sebagai penanggungjawab sebuah ritual gamelan fenomenal di Jawa, yaitu Sekaten. Pengakuan atas keberadaan wali songo sebagai kontributor dan penyokong akulturasi budaya melalui metode berakhlak dan berkesenian yang disesuaikan dengan tradisi Islam, saya kira, telah banyak ditulis dan diungkap para ilmuwan dan sejarawan yang concern terhadap perkembangan Islam Nusantara.

Bagi saya, prinsip dan metode Wali Songo dalam memperkenalkan Islam di Nusantara, tak jauh berbeda dengan upaya "Islamisasi" Arab yang dijalankan oleh Nabi Muhammad selama periode Mekkah. Sejarah banyak merefleksikan bagaimana peran Nabi Muhammad dalam mengakulturasi Islam melalui budaya masyarakat setempat. Ritual-ritual suci yang diklaim berasal dari ajaran Islam, sesungguhnya telah melalui proses penyerapan budaya dan kearifan masyarakat Arab, seperti dalam praktik ibadah haji ataupun puasa misalnya. Kedua ritual suci umat muslim ini sudah ada dan mentradisi dalam masyarakat, tetapi kemudian diadopsi kedalam ajaran Islam. Bahkan tanpa segan-segan, ketika banyak ajakan kelompok lain untuk mengikuti keyakinan mereka, Nabi Muhammad menolak dengan mengatakan, "Cukuplah saya mengikuti agama leluhur kami, Ibrahim yang hanif".

Tradisi keagamaan yang telah diwariskan kepada Nabi Muhammad tetap dipegang teguh, kemudian disempurnakan secara evolutif, tanpa sedikit pun mengalami pertentangan dalam masyarakat. Metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi Muhammad lebih banyak diperkenalkan melalui ajaran-ajaran moral yang diserap secara berkala dari berbagai tradisi baik yang berkembang dalam masyarakat. 

Moralitas adalah "seni berperilaku" yang justru lebih efektif dari pada seni berorasi yang dijalankan melalui serangkaian kegiatan dakwah atau ceramah agama. Selaras dengan sebuah adagium Arab terkenal, "Lisanul hal afshahu min lisanil maqal" (seni berprilaku (akhlak) lebih efektif dari seni berorasi). Itulah sebabnya, para Wali merespon setiap tradisi melalui kegiatan seni yang diisi dengan nilai-nilai moral-keagamaan, di mana pentas seni menjadi satu-satunya ajang yang paling efektif dalam menyebarkan agama Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun