Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Muamalah "Medsosiah" di Antara 3 Darurat Negeri Ini

4 September 2017   14:21 Diperbarui: 5 September 2017   09:35 4675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. The next web.

Istilah "darurat" jika merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti, "keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera". Kata "darurat" jelas terkait dengan kata "adl-dlurru" yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna yang sama, yaitu "kerugian" atau "keadaan bahaya". 

Kondisi darurat jelas memerlukan penanggulangan segera, karena jika tidak pasti akan menimbulkan bahaya atau bencana yang lebih besar, bahkan bisa terjadi kematian, baik dalam artian fisik atau non-fisik. Saya meyakini bahwa terdapat tiga hal krusial yang menjadi darurat yang membahayakan di negeri ini, yakni soal media sosial (medsos), narkoba dan belakangan ini masalah olah raga.

Ketiga hal ini, saya kira telah memunculkan potret degradasi nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan sehingga lambat laun memperburuk citra bangsa ini menjadi "bangsa kalah", terpuruk dalam penderitaan berkepanjangan: konflik sosial-politik, kemiskinan, ketimpangan, pemerintahan yang tidak stabil dan dalam beberapa hal justru gagal mencitrakan dirinya sebagai "bangsa menang" yang --paling tidak---berhasil merebut simpati dari bangsa sendiri. Yang paling menyedihkan, bidang olah raga yang bagi saya cukup telak, dimana event olah raga level Asia Tenggara, bangsa ini "dipecundangi" oleh bangsa lain yang bahkan luas negaranya tak lebih hanya seperempat saja dari Kepulauan Nusantara.

Darurat yang paling mengkhawatirkan dan harus segera diselesaikan adalah jelas narkoba. Kita tahu, Indonesia adalah sorga bagi sindikat internasional yang mengeruk keuntungan ekonomis ditengah hancurnya kondisi bangsa ini sebagai penikmat obat-obat psikotropika. Berton-ton barang haram ini keluar-masuk dengan aman, dijual dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia. 

Lihat saja presentase pengguna narkoba di Indonesia yang sudah mencapai 5,1 juta jiwa pada 2017 dan mengalami peningkatan serius setiap tahunnya. Anehnya, mereka jelas tahu bahaya dan konsekuensi menggunakan obat terlarang ini, tapi toh penjualan narkoba tetap menjanjikan dan Indonesia, bahkan sukses menjadi pasar besar bagi produksi dan konsumsi barang haram ini.

Ketimpangan sosial yang terjadi, akibat tidak meratanya lahan pekerjaan sedangkan kebutuhan setiap orang semakin meningkat, menempatkan narkoba sebagai "lahan pekerjaan" menjanjikan dengan keuntungan lebih besar. Resiko hukuman yang berat tak akan membuat para konsumen dan produsen obat terlarang ini jera, terbukti dari semakin maraknya mereka yang tersandung kasus ini, dari mulai penikmat, penjual obat, pejabat, artis hingga aparat. Resiko yang besar tampaknya tidak linier dengan ekspektasi mereka para pemuja narkoba untuk tetap mengkonsumsi, menjual dan mendistribusikan obat-obatan terlarang ini dengan keuntungan yang tentu saja berlimpah. 

Medsos merupakan darurat lainnya yang perlu ditanggulangi cepat, agar tidak terjadi bencana yang lebih besar, memporak-porandakan kerukunan, toleransi dan sistem sosial yang telah terbangun secara baik sejauh ini. Kita tak bisa begitu saja menutup mata, efek medsos sedemikian berpengaruh terhadap kondisi kebangsaan dan kenegaraan, yang tidak saja dirasakan langsung dalam dunia maya, tetapi sudah merambah hubungan kemanusiaan di dunia nyata. 

Ujaran kebencian (hate speech) atau penyebaran berita palsu (hoax) seakan menjadi hal wajar di dunia maya, padahal jelas menggerogoti fondasi bangunan kebangsaan dan kenegaraan. Kasus "Saracen" menjadi bukti nyata tumbuh suburnya kelompok-kelompok sosial pemicu dan penghasut kebencian yang  memutarbalikkan fakta atau memfitnah yang jelas berdampak pada kerukunan masyarakat.

Darurat medsos, bahkan menjadi perhatian utama Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuat fatwa haram atas "muamalah medsosiah" yang belakangan justru memperlihatkan prilaku membahayakan, dimana mengumbar ghibah(membicarakan aib atau keburukan orang lain), fitnah, namimah(adu domba), perisakan (bullying), dan penyebaran permusuhan telah menjadi semacam industri konten negatif di ranah medsos. 

Tidak hanya itu, perhatian MUI juga tertuju pada konten negatif lain yang merusak, seperti kemaksiatan dan pornografi yang kian hari kian marak dikonsumsi masyarakat. Posisi fatwa keagamaan MUI ini menjadi sangat penting, karena selain menjadi beban moral yang dipikul menjadi tanggungjawab bersama para tokoh agama, fatwa ini merupakan penegasan sikap keagamaan yang meng-counter para penyebar konten negatif yang meyakini bahwa apa yang dilakukannya sebagai bagian dari perjuangan agama.

Muamalah medsosiah bagi saya memiliki arti penting soal bagaimana kita sebagai pengguna medsos, mengetahui secara jelas demarkasi agama dan sosial. Muamalah jelas terkait dengan hubungan secara sosial yang dijalankan secara baik berdasarkan pada keyakinan-keyakinan agama, sehingga agama bisa menjadi pengaruh yang baik dan bijak dalam pengelolaan hubungan kemasyarakatan termasuk di ranah medsos. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun