Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ulang Tahun atau Hari Lahir?

24 Agustus 2017   06:37 Diperbarui: 25 Agustus 2017   10:55 10828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bookeventz.com

Entah kapan tradisi ulang tahun ini dimulai, yang jelas sejak kecil kedua orang tua saya tidak pernah mentradisikannya dalam keluarga. Namun, beberapa kali sewaktu kecil, saya diundang teman sebaya untuk menghadiri acara ulang tahun di rumahnya. Teman sebaya saya waktu itu memang cukup berada, karena bapaknya adalah seorang camat dimana saya tinggal. Walaupun kadang bagi saya, istilah "ulang tahun" yang mungkin diterjemahkan dari "hari lahir" (birthday) rasa-rasanya tidak tepat. Bagaimana tidak, tahun diulang itu pasti tidak bisa, karena tahun yang telah lalu tak mungkin bisa dikembalikan. Jika "ulang hari" atau "hari lahir" yang merujuk pada penanggalan kita lahir barangkali sedikit lebih tepat.

Walaupun istilah "ulang tahun" ini menjadi begitu akrab di telinga dan diterima sebagai kalimat baku untuk merujuk pada hari lahir seseorang, anggap saja istilah ini benar, walaupun ketika merujuk pada istilah aslinya dalam bahasa Inggris, "birthday" atau bahasa Arab "milad" sama-sama tak mendekati maknanya, bahkan mungkin keluar dari maksud sebenarnya. 

Jika seseorang kemudian "berulang tahun" dan kemudian didoakan oleh kolega-koleganya, maka doa yang terucap pasti adalah "panjang umur", bahwa ketika seseorang masih dipertemukan dengan hari dimana dia lahir, maka itu artinya panjang umur. Namun benarkah panjang umur? Atau malah semakin pendek umurnya? Lagi-lagi makna ulang tahun terkadang seringkali "menyesatkan" kita.

Bagi saya, bertambahnya usia sama dengan berkurangnya sisa umur yang ditetapkan Tuhan kepada kita. Bukan soal panjang umurnya yang kita syukuri, tetapi sejauh mana umur yang telah kita habiskan bisa bermanfaat untuk diri, orang lain dan lingkungan sekitar. Maka, semestinya yang paling tepat adalah "keberkahan umur" karena umur sejatinya segala kesempatan kenikmatan hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. 

Berkah berarti terdapat nilai-nilai kebaikan bahkan bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khair) itu sendiri dari nikmat Tuhan yang kita habiskan setiap waktunya. Jadi, bagi orang yang selalu ingin mendermakan umurnya untuk keberkahan, dia tidak lagi berpikir panjang atau pendeknya umur, karena yang dia pahami bagaimana umur dihabiskan secara manfaat seakan berkejaran dengan deadline sisa umur dari Tuhan yang tak seorangpun mengetahuinya.

Jika yang dimaksud "ulang tahun" adalah mengulang atau mengingat hari lahir, maka manusia sejatinya diingatkan bahwa hari dimana pertama kali dia lahir adalah hari dimana dia merasakan kehidupan yang nyata di dunia. Walaupun anehnya, yang diingat manusia selalu saja hari lahir, tak pernah mengingat soal hari mati sama sekali. Padahal, lahir dan mati adalah keniscayaan yang terus berputar mewarnai kehidupan sejarah kemanusiaan.

Jika semua orang terlahir terus tanpa ada yang mati, maka tak bisa dibayangkan, seperti apa padatnya bumi yang kita tinggali ini. Bagi saya, kedatangan "hari lahir" berarti mengingatkan sisa umur yang hanya tinggal sedikit dan tentunya yang diingat adalah kematian yang justru semakin dekat.

Oleh karena itu, dalam ajaran agama Islam, justru seakan memberikan pernyataan bahwa setiap hari adalah hari lahir (everyday is birthday), karena manusia setiap pagi bangun tidur adalah "kelahiran" dirinya di dunia setelah "kematian" semu yang dialaminya saat tidur. Saya selalu diajarkan orang tua ketika hendak tidur dengan membaca, "Atas nama-Mu yang telah menghidupkan saya dan akan mematikan saya malam ini" (bismika ahya wa bismika amuut). 

Setiap hari kita "mati" dan setiap hari juga kita "lahir kembali" yang tentu saja meninggalkan sisa umur yang entah sudah kita pergunakan untuk apa. Dan, ketika saya bangun dari tidur, doa yang diajarkan Rasulullah adalah, "Maha Suci Engkau yang telah menghidupkan saya setelah kematian dan hanya kepada-Nya saya bersyukur" (Subhana alladzi ahyaana ba'da maa amatana wa ilaihi an-nusyur).

Inilah kenapa, bahwa hari lahir atau "ulang tahun" bagi saya bukan momen tahunan yang dirayakan dengan makan-makan, traktiran, hura-hura dengan segala tetek-bengek yang melingkupinya. Setiap hari adalah "hari lahir" yang seharusnya patut disyukuri sebagai kenikmatan hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Mengingat kelahiran harus juga disadarkan akan mengingat kematian, karena lahir dan mati adalah satu kesatuan yang melekat mengikat sejarah kehidupan kemanusiaan. 

Tak ada pula juga artinya kita mendapat anugerah umur panjang tetapi kita tak pernah bisa berbuat apa-apa. Semakin panjang umur, semakin lemah manusia dan semakin berkurang seluruh potensi yang dimilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun