Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka dari Korupsi dan Kebodohan

13 Agustus 2017   16:43 Diperbarui: 14 Agustus 2017   06:08 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semarak kemerdekaan sudah jauh-jauh hari dirasakan, melalui berbagai ungkapan, simbol, seremonial atau hal lain sebagai bentuk ekspresi kegembiraan menyambut dirgahayu republik ini. 

Walaupun sesungguhnya, kemerdekaan bukanlah sekadar simbolisasi atau ekspresi yang dibalut dalam nuansa merah-putih yang terpasang di ruang-ruang terbuka, jalan-jalan protokol bahkan hingga gang-gang sempit di sudut-sudut kota. Kemerdekaan dalam arti lebih luas adalah "kebebasan" dari seluruh kemelut bangsa yang merusak peradaban, yaitu korupsi dan kebodohan.

Bangsa ini belum pernah merdeka dari korupsi dan juga kebodohan, karena sebutan bagi negeri terkorup masih melekat, termasuk kegagalan pendidikan kita yang hanya mampu "memintarkan" tetapi gagal "mencerdaskan" kehidupan bangsanya.

Kita sudah tak begitu terkejut, ketika lagi-lagi kasus korupsi terkuak dilakukan oleh mereka yang notabene publik figur, orang penting, berpendidikan tinggi dan tentu saja "pintar". Parahnya lagi, korupsi sepertinya dianggap sebagai kebiasaan yang lazim atas timbal balik jasa terhadap segala macam urusan yang saling menguntungkan. Tak peduli bahwa perbuatannya telah merusak dan merugikan seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lalu, apa hubungannya pintar dengan korupsi? Melihat pemaknaan korupsi yang terambil dari bahasa latin, "corrumpere" yang berarti "merusak", "busuk" atau "memutarbalik", maka orang-orang yang senang merusak dan melakukan kebusukan ternyata tidak identik dengan perbuatan orang bodoh, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang "pintar". Dalam sejarah kita mengenal bangsa barbar yang konon gemar melakukan invasi ke wilayah lain dengan merusak tatanan masyarakat dan peradabannya. Kemudian, istilah "barbar" dikenal untuk menunjuk sekumpulan orang bodoh yang tak beradab, gemar berbuat kerusuhan dan kerusakan. Koruptor tak ubahnya seperti orang barbar yang tanpa sadar telah merusak sendi-sendi peradaban manusia.

Istilah "korupsi" juga dimaknai "fasad" dalam bahasa Arab, yang artinya "rusak" atau "hancur" dan tentu saja pekerjaan seperti merusak atau menghancurkan jelas umumnya hanya orang-orang bodoh yang melakukannya. Jika ada orang-orang pintar melakukan kebodohan seperti merusak dan menghancurkan, itu karena mereka belum memiliki kecerdasan dalam hal mengelola kepintaran mereka untuk hal-hal yang bermanfaat bagi sesama. 

Kita seringkali tertipu oleh kepintaran seperti seringkali kita ungkapkan kepada anak-anak kita, "belajar yang rajin nak, biar jadi orang pintar". Padahal "pintar" tak selalu linier dengan kebaikan atau kemanfaatan, berbeda dengan "cerdas" yang umumnya sejalan dengan prilaku seseorang menjadi semakin baik dan bermanfaat.

Pintar dan cerdas jelas berbeda, sebab kepintaran umumnya hanya bergantung pada akal, tanpa melibatkan hati dan pikiran yang matang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, pintar berarti  "cerdik" atau "banyak akal". Dengan demikian, seorang pencuri bisa saja disebut "cerdik" karena "banyak akal" untuk mengelabui polisi. Berbeda dengan "cerdas" yang oleh KBBI diartikan "sempurna akal budinya (untuk berpikir, mengerti dan sebagainya)". Kecerdasan berarti melibatkan seluruh kematangan berpikir, sehingga kepintarannya menjadi sempurna, membentuk prilaku yang benar-benar menjauhi praktik "korup" dan kebodohan.

Dalam bahasa agama, kecerdasan merujuk pada istilah "lubb" (inti atau bagian terpenting) yang mendiami akal pikiran manusia. Maka, kemudian istilah "lubuk hati", mengandung pengertian "sesuatu yang paling penting (inti)" dimana "lubuk" benar-benar cermin sebuah ketulusan dan kejujuran. 

Seseorang ketika berbicara dan berprilaku sesuai lubuk hatinya, berarti menggunakan kecerdasannya atau "lubb" nya, tidak lagi bermain pada wilayah kepintaran yang menggunakan otaknya. Kecerdasan pada akhirnya terkait tidak hanya dengan kepintaran, tetapi berkesesuaian dengan "kata hati" yang membimbingnya menuju ruang-ruang kebenaran.

Oleh karena itu, orang-orang cerdas dalam bahasa agama disebut dengan "ulul albab" yang memiliki kedudukan dan strata lebih tinggi, dibanding sekadar beriman atau bertakwa kepada Tuhan. Ulul Albabbukan saja orang-orang dimuliakan oleh Tuhan, tetapi juga diistimewakan manusia, karena prilakunya jelas adalah cermin kecerdasan yang terpantul dari ketajaman pikirannya dan senantiasa sejalan dengan kebenaran suara batinnya. Para filosof, ilmuwan, nabi-nabi, wali, barangkali sebutan diantara sekian para ulul albab yang selalu memberi kemanfaatan dan terbukti berhasil memajukan peradaban manusia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun