Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dzikir Kebangsaan

2 Agustus 2017   12:13 Diperbarui: 2 Agustus 2017   15:32 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terkadang ada saja istilah baru atau pemaknaan kata yang ketika dihubungkan menjadi saling kontradiksi, walaupun tetap dipergunakan menjadi istilah baru yang diterima. Dulu pernah dikenal istilah "Tobat Nasional" yang dipopulerkan Amien Rais yang sebenarnya antara "tobat" dan "nasional" juga memiliki makna yang kontradiktif ketika digabungkan. Baru-baru ini, muncul istilah "Dzikir Kebangsaan" yang mungkin kurang lebih sama, terdapat "contradictio in adjecto", mengingat kata "dzikir" dan "kebangsaan" juga dua hal yang memiliki makna yang sama sekali berbeda. "Dzikir" jelas bernuansa agama, transenden, bahkan dalam bahasa agama disebut sebagai kalimat "musytarok" (satu kata banyak arti). Sedangkan "Kebangsaan" memiliki arti "yang bertalian dengan bangsa atau ciri-ciri suatu bangsa" (KBBI), yang sangat lekat dengan keduniaan (imanen).

Barangkali jika kemudian dihubungkan, istilah Dzikir Kebangsaan akan bermakna fenomena dzikir dengan melakukan ritual keagamaan tertentu yang dianggap menjadi ciri bangsa tersebut. Lalu, apakah demikian? Benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang senang berdzikir? Untuk bagian ini, saya kira, setiap orang dapat memiliki pendapat sendiri-sendiri soal apakah benar bangsa kita ini adalah bangsa yang bercirikan gemar berdzikir kepada Tuhan atau tidak. Jikapun ini menjadi istilah baru, apakah memang benar untuk memperkuat fenomena dzikir sebagai bagian dari ciri bangsa Indonesia yang dikenal agamis dan ideologis, tentu kita akan mempunyai argumentasi masing-masing.

Malam tadi, Istana Negara memang menggelar acara "Dzikir Kebangsaan" yang digagas dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-72. Pihak istana mengklaim telah mengirim 2000 undangan yang disampaikan kepada para ulama dan tokoh masyarakat muslim agar mengikuti rangkaian kegiatan yang pertama kalinya di gelar di Istana Negara ini. Bagi saya ini menjadi menarik dan sangat fenomenal, karena pertama digelar di Istana Negara yang biasanya steril dari segala aktivitas sosial yang bersifat massif karena soal keamanan dan kedua, dzikir merupakan ritual muslim yang sangat bersifat "khusus" yang dibuat bersifat "umum", sehingga jika diprakarsai oleh penguasa terlebih menjelang kontestasi politik nasional, akan muncul banyak spekulasi di tengah masyarakat.

Konsepsi dzikir dalam ajaran Islam bagi saya memiliki nuansa esoteris yang sangat berpengaruh terhadap seseorang yang memang terbiasa menjalankannya. Bahkan, dzikir juga dapat bermakna politis jika dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu. Hal ini dijelaskan oleh salah satu riwayat hadis Turmudzi dan Ibnu Majah, bahwa amalan dzikir dapat mengangkat prestise seseorang (irfa' darajatikum) dalam konteks keduniaan (politik). 

Dzikir bahkan lebih jauh disebut oleh hadis ini sebagai ibadah ritual terbaik, dibanding sedekah sebanyak apapun atau jihad sebesar apapun. Makna esoteris dzikir sangatlah dalam dan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu yang memang telah memiliki cara khusus dalam upaya "bermesraan" dengan Tuhan. Lalu, apakah ini yang dituju oleh Dzikir Kebangsaan? Wallahu a'lam.

Perhelatan Dzikir Kebangsaan di Istana Negara adalah pertama kalinya dalam sejarah rezim negara ini. Bahkan masa kepemimpinan Gus Dur yang dikenal lekat dengan kelompok tashawwuf dan dzikir dari kalangan NU, rasa-rasanya belum pernah menggelar dzikir bersama di lingkungan istana. Lalu, muncul spekulasi, apakah Jokowi memang sedang "bermesraan" dengan kalangan Nahdliyyin, yang memang memiliki massa sangat besar dan bisa dimanfaatkan untuk menjadi pendukungnya di Pilpres 2019 nanti? Ini juga akan membutuhkan penelitian yang lebih mendalam, karena semua spekulasi hanya dilakukan secara kasat mata, melihat jumlah ulama NU yang mendominasi kegiatan dzikir ini.  

Walaupun saya meyakini, bahwa dzikir akan membawa suasana yang lebih kondusif, nyaman dan tentram, terlebih jika nuansa berdzikir benar-benar diciptakan secara khusyuk dan mantap, tak ada tujuan apapun, kecuali mengharap keberkahan sang Maha Agung. Namun, rasanya akan lain halnya, jika dzikir sekadar digelar demi tujuan lain yang berkait dengan dimensi keduniaan, seperti mengharap dukungan politik atau membuat pencitraan yang melenceng dari tujuan utamanya. Saya berharap, bahwa kegiatan apapun terlebih menyangkut soal ritual keagamaan, apalagi dzikir, akan berdampak pada kondusifitas kebangsaan yang mungkin hampir-hampir terkoyak. Hal inilah yang juga diungkapkan Ketua Umum MUI, KH Ma'ruf Amin yang juga hadir dalam acara ini, menyambut positif Dzikir Kebangsaan sebagai pembuka pintu keberkahan Tuhan bagi negara dan bangsa.

Bagi saya, jika dinamakan dengan Dzikir Kebangsaan, maka ritual dzikir sebagai bentuk pengingat kita kepada Tuhan, tidaklah selalu diidentikkan kepada hanya umat muslim saja. Karena, dzikir sesungguhnya tidaklah sebuah klaim bagi satu kelompok agama atau manusia saja. Dzikir dengan mengambil pemaknaan "mengingat Tuhan" tentu dilakukan oleh seluruh mahluk ciptaan-Nya, di seluruh muka bumi. Alam raya ini "berdzikir", bulan, bintang, pepohonan, sungai, gunung dan yang tak kasat mata senantiasa mendengungkan "dzikir" kepada Tuhan dengan cara yang berbeda-beda. 

Jika memang ini adalah konsepnya kebangsaan, maka seluruh agama lain juga semestinya hadir untuk bersama-sama berdzikir dengan khusyuk, memohon kehadirat-Nya agar bangsa dan negara ini selalu diberikan keberkahan yang melimpah dari Tuhan. Paling tidak, dzikir akan menenangkan dan menentramkan hati, agar hati tidak liar berprasangka buruk terhadap banyak hal. Berdzikirlah, karena dzikir pasti menentramkan jiwa!  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun