Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aroma "Represi Politik" di Perppu Ormas

14 Juli 2017   07:14 Diperbarui: 14 Juli 2017   19:07 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Wiranto saat konferensi pers mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Ormas di Gedung Kementerian Polhukam, Jakarta, Rabu (12/7/2017). | Kompas.com/Andreas Lukas Altobeli

Bentuk represi politik ini sesungguhnya secara dikotomis dapat dipertentangkan terhadap kondisi "keterbukaan" atau "kebebasan" (politik), sehingga dialektika keduanya dapat menentukan kadar keberlangsungan proses demokrasi dalam suatu masyarakat. Jika kadar keterbukaan serta kebebasan politik masyarakat semakin dibatasi atau bahkan "ditekan" oleh kekuasaan, maka jelas, hal ini merupakan kemunduran bagi cita-cita demokrasi.

Perppu yang sedianya akan dikomunikasikan terlebih dahulu dengan DPR juga nampaknya bisa jadi alot dalam pembahasannya, karena tidak seluruh fraksi di DPR mendukung diterbitkannya Perppu tersebut. Beberapa partai politik (parpol) pendukung pemerintah---diluar PAN---termasuk Golkar, Nasdem, PPP, PDI-P, PKB, dan Hanura menyatakan dukungannya terhadap Perppu yang telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 10 Juli lalu itu.

Namun, parpol di luar pemerintahan, baik Gerindra, PKS, Demokrat, dan satu parpol pendukung pemerintah, yaitu PAN justru berada pada posisi menolak atau belum menganggap perlu diterbitkannya Perppu soal mekanisme pembubaran ormas tersebut. 

Secara yuridis, Perppu ini sudah berlaku sejak ditetapkannya, walaupun masih menunggu persetujuan DPR untuk disahkan. Jika ditolak DPR, maka mekanisme pengaturan soal ormas dengan beragam konsekuensi hukumnya akan dikembalikan kepada UU Nomor 17 tahun 2013.

Pro-kontra mengenai pemberlakuan hukum sebagai alat kekuasaan negara yang "dipaksakan" kepada masyarakat, seakan mengingatkan saya pada bayang-bayang sikap represif rezim Orde Baru yang juga kurang lebih sama membubarkan ormas-ormas yang dianggap "kritis" terhadap pemerintah atau dianggap melenceng dari haluan ideologi negara. Bahkan, media yang dinilai terlalu vokal dalam mengkritisi pemerintah waktu itu juga dibredel oleh aturan hukum yang sengaja dibuat rezim sebagai "alat pemaksa" secara legal agar dipatuhi masyarakat. 

Pada 1985, misalnya, rezim Orde Baru mengharuskan seluruh ormas mengganti ideologi organisasinya dengan Pancasila, padahal banyak ormas yang lahir karena ada keterikatan sejarah dengan keyakinan atau ideologi tertentu. Jika ada organisasi yang tidak mencantumkan ideologi Pancasila sebagai landasan organisasinya, maka jelas akan terkena imbas pembubaran oleh pemerintah secara paksa.

Saya kira, keberadaan ormas yang jumlahnya ratusan ribu di negeri ini, memang perlu ditertibkan, terutama merujuk pada adanya kemanfaatan sebuah ormas yang dirasakan masyarakat. Jika keberadaannya memang dipermasalahkan masyarakat atau bahkan mengganggu ketertiban atau membahayakan ideologi negara, tentu harus diberikan peringatan dan teguran secara bijak dan bila perlu dan mendesak, membubarkannya tetap harus selaras dengan mekanisme hukum yang berlaku. Masyarakat harus diberi kebebasan dalam menyuarakan aspirasinya, selama tidak bertentangan dengan undang-undang. 

Kebebasan tentu hak setiap warga negara dan dijamin oleh undang-undang, namun tetap kebebasan yang bertanggungjawab karena terdapat konsekuensi hukum jika mengganggu kebebasan pihak lain. Jangan sampai Perppu Ormas ini justru mengebiri hak-hak kebebasan untuk berorganisasi, berkumpul dan menyampaikan secara luas berbagai aspirasi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun