Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terorisme dan Penyimpangan Agama

2 Juli 2017   22:27 Diperbarui: 3 Juli 2017   14:03 2842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Lucky Pransiska/Kompas.com

Aksi teror tidak hanya perbuatan biadab, tetapi juga sangat merugikan orang banyak. Ajaran agama jelas, tidak ada satupun yang mentolerir aktivitas teror, baik yang sekadar mengancam, menakut-nakuti terlebih melakukan penyerangan bahkan membunuh. Dalam ajaran Islam, membunuh tanpa alasan jelas, terlebih dilakukan kepada sesama muslim dihukumi kafir dan termasuk perbuatan yang sangat dibenci Tuhan. 

Bahkan jika terjadi dua orang berseteru, lalu salah satunya terbunuh, Islam menghukumi keduanya sebagai "qootil wal maqtuul fi an-naar" (pembunuh) yang berdosa besar dengan konsekuensi neraka. Dengan demikian, alasan apapun yang dipergunakan para teroris yang kemudian dijadikan dasar pembenaran untuk menyakiti atau bahkan membunuh orang lain tanpa sebab, merupakan penyimpangan agama dan lebih jauh lagi, mereka sebenarnya bukanlah orang-orang yang memahami agama.

Aktivitas terorisme yang kini semakin brutal dan membabi buta, menjadi fenomena kemanusiaan yang mengerikan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai wilayah lainnya. Entah logika apa yang belakangan dianut para teroris ini, sehingga aparat kepolisian justru dijadikan target utama mereka. Kejadian teror brutal seakan beruntun menimpa satu per satu aparat yang dibunuh disaat mereka dalam keadaan lengah. 

Pada 25 Juni lalu, seorang aparat kepolisian tewas ditikam pelaku teror di pos penjagaan Polda Sumatera Utara, disusul kemudian pada 30 Juni, dua orang aparat lainnya juga ditikam secara brutal di sebuah masjid di wilayah Jakarta Selatan usai keduanya melaksanakan shalat Isya berjamaah. Serentetan aksi brutal yang dilakukan para teroris tidak lagi memandang tempat, atau latar belakang targetnya, selama itu merupakan simbol kepolisian, tak segan-segan mereka untuk menghabisinya.

Mengurai alur logika para teroris memang tidaklah mudah, karena tak bisa hanya diidentifikasi melalui bagaimana cara mereka memahami ajaran agamanya. Para pelaku teror tentunya akan berpegang pada prinsip rasionalisme yang melekat dalam diri mereka sendiri. Filosof berkebangsaan Jerman, Immanuel Kant, misalnya, pernah menjelaskan bahwa sisi rasio kemanusiaan dalam kaitannya terhadap ilmu pengetahuan, dapat dibedakan ke dalam dua hal: rasio teoritis atau rasio murni dan rasio praktis. Jika para pelaku teror mendasarkan aksinya hanya bersandarkan pada teori-teori jihad yang dimanipulasi dan disederhanakan, lalu menjadi asupan pengetahuan dogmatik yang diyakini sebagai kebenaran, maka sangat tepat jika mereka hanya mengandalkan rasio praktis.

Dunia informasi bagi mereka tak lebih dari segala hal yang bersifat konstatif (constative utterences), dimana jihad merupakan perjuangan menegakkan agama yang harus dijalankan hanya melalui perang, akibat "provokasi budaya" yang sengaja dibenturkan oleh mereka yang dianggap "kafir". Seluruh model peradaban atau budaya yang mendominasi dan menggeser serta mendiskreditkan ideologi mereka, jelas harus dilawan dan dihancurkan.

Rasio praktis hanya memberikan perintah secara mutlak (imperative categories), sehingga rasio akan selalu membenarkan terhadap apa yang diperintahkan. Kant mencontohkan dimana seseorang yang berpandangan praktis, akan memahami, bahwa barang milik orang lain yang dikuasai, maka sudah seharusnya dikembalikan. 

Termasuk, ketika ada dorongan akal yang menyatakan dilarang menyakiti orang lain yang tidak bersalah atau membunuh siapapun yang terkait dengan "simbol kejahatan" dalam persepsi mereka, merupakan pertentangan terhadap perintah mutlak itu, perintah dari hati nuraninya sendiri sebagai manusia. Praktik jihad dalam pemahaman mereka telah jauh mengalami degradasi, termasuk memprovokasi bahwa peradaban Barat adalah pinjaman dari peradaban Islam sehingga harus dikembalikan menjadi peradaban Islam yang penuh keemasan.

Menyederhanakan sesuatu yang sebenarnya diperlukan kategorisasi dan pemilahan dari setiap gagasan adalah ciri dari sebuah rasio praktis yang menolak postulat pencapaian sebuah kebenaran yang diselaraskan dengan akal dan nurani. Seseorang yang menganut logika praksis, sudah tentu selalu berdasarkan pengamatan inderawi an sich, tanpa mampu memberi keterangan soal hakikat dan sifat-sifat dunia di luar dirinya. 

Para pelaku teror terhadap aparat kepolisian yang beruntun belakangan ini sepertinya jelas, mereka secara sederhana memandang aparat sebagai manifestasi dari ideologi "kafir" dan "thaghut" karena melawan dan menghalangi aksi jihad mereka. Rasio praktis yang mengental dalam diri mereka pada akhirnya menutup diri mereka dari seluruh postulat kebenaran agama yang didasarkan pada kesesuaian antara akal budi (verstand) dan hati nurani.

Agama dalam memandang perbuatan manusia memiliki konotasi "saling berbalas" (kamaa tadiinu tudaanu), dimana setiap perbuatan baik dan buruk akan ada timbal baliknya sesuai dengan apa yang telah diupayakan. Segala aktivitas keburukan yang dilakukan seseorang pasti akan berbalas keburukan setimpal atau bisa lebih buruk dari yang dibayangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun