Dalam satu dekade terakhir, industri rokok di Indonesia mengalami guncangan bertubi-tubi. Apa yang dulu menjadi raksasa ekonomi dengan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan lapangan kerja kini mulai limbung, tergelincir oleh badai regulasi, perubahan gaya hidup, hingga krisis global. Data terbaru dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menunjukkan bahwa produksi rokok nasional pada kuartal I 2025 anjlok sebesar 4,2%Â dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini bukan hanya angka statistik---ia adalah sinyal gawat darurat bagi industri yang selama ini menikmati status "kebal krisis."
Mari kita bedah faktor-faktor utama penyebab kemerosotan ini, yang tidak hanya mencerminkan tantangan lokal, tetapi juga tekanan global yang semakin menyesakkan bagi industri rokok konvensional.
1. Turunnya Daya Beli, Naiknya Rokok Murahan
Pasca pandemi COVID-19, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pulih. Inflasi dan stagnasi upah menyebabkan daya beli merosot. Perokok---terutama dari kelas menengah bawah---menghadapi dilema: tetap merokok tapi beralih ke merek lebih murah, atau berhenti total. Fenomena ini disebut sebagai downtrading, dan datanya tidak main-main.
Produksi rokok golongan I (rokok premium) turun drastis sebesar 10,9%, sementara produksi golongan II dan III justru naik. Artinya, konsumen tidak meninggalkan rokok, tapi meninggalkan rokok mahal. Akibatnya, perusahaan besar seperti Gudang Garam dan Djarum harus menanggung penurunan margin secara drastis. Margin keuntungan dari rokok premium yang dulu menjadi tulang punggung kini tergerus, dan pasar bergeser ke produk dengan keuntungan lebih tipis.
2. Cukai Naik, Keuntungan Tercekik
Pemerintah Indonesia secara konsisten menaikkan cukai rokok setiap tahun. Tujuannya memang terpuji---mengendalikan konsumsi tembakau dan menambah pundi-pundi negara. Namun, efeknya terhadap industri tidak bisa diabaikan. Kenaikan tarif cukai 2024 untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) misalnya, langsung menggerus profit produsen besar.
Lebih dari itu, kenaikan harga rokok akibat cukai tinggi menurunkan keterjangkauan produk. Secara global, WHO mencatat bahwa kenaikan harga 10% bisa menurunkan konsumsi hingga 5% di negara berpenghasilan menengah-rendah. Di Indonesia, di mana 70 juta orang adalah perokok aktif (sekitar 34,5%Â penduduk dewasa), tekanan ini nyata terasa.
3. Generasi Sehat: Ancaman atau Harapan?
Generasi muda Indonesia kini punya pilihan gaya hidup yang lebih beragam dan lebih sehat. Kampanye antirokok dan tren hidup sehat semakin mengikis citra rokok sebagai simbol maskulinitas atau kedewasaan. Secara global, prevalensi merokok dewasa turun dari 33% (2000) menjadi 22% (2020), bahkan saat populasi dunia meningkat.
Indonesia belum mengikuti tren ini sepenuhnya. Jumlah perokok justru meningkat dalam kelompok usia muda, namun secercah harapan terlihat: komunitas antirokok bermunculan, dan kampanye hidup sehat mulai meresap ke media sosial. Transformasi ini bisa menjadi titik balik---apabila ditindaklanjuti dengan kebijakan dan edukasi yang konsisten.
4. Bungkus yang Tak Lagi Seksi
Pemerintah Indonesia lewat PP No. 28/2024 mewajibkan peringatan bergambar pada 50% permukaan depan dan belakang bungkus rokok. Ini bukan sekadar kosmetik. Bukti dari berbagai negara menunjukkan bahwa kemasan rokok berperan penting dalam menarik konsumen, terutama remaja.
Dengan pelabelan grafis yang mengerikan dan larangan iklan rokok, industri kehilangan "etalase" utamanya. Ditambah larangan sponsor dan promosi, ruang gerak pemasaran rokok semakin menyempit. Ini bukan pukulan ringan---melainkan amputasi strategis terhadap daya jual produk tembakau.