Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Manusia, AI, dan Ketakutan yang Terlalu Berisik

9 Juni 2025   14:20 Diperbarui: 9 Juni 2025   14:20 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi andai AI yang berpikir sendiri dan sadar. (Sumber: Freepik.com)

Di sebuah malam yang malas, kopi sudah dingin, dan pikiran masih hangat, aku mendengar gumam orang-orang yang takut. Takut kalau manusia jadi mirip AI. Takut kalau manusia kehilangan independensi berpikir. Takut kalau salah bicara, nanti dibilang bego. Dibilang kadrun. Dibilang cebong. Dibilang... manusia.

Lucu ya. Manusia takut mirip mesin, tapi tiap hari belajar dari algoritma. Bangun tidur bukan baca doa, tapi scroll TikTok. Ngopi bukan buat ketemu kawan, tapi buat update story. Lalu kita bilang: "Wah, jangan-jangan kita ini udah kayak AI---cuma bisa merespons prompt dari luar."

Sebentar. Apa memang selama ini kita bukan begitu?

Apa bedanya hidup di zaman AI dengan zaman ketika orang disuruh hafal buta Pancasila di sekolah dasar, disuruh ikut baris-berbaris biar jadi warga negara yang disiplin? Apa dulu kita lebih independen dari sekarang? Atau hanya beda jenis "prompt" dan "big data"-nya saja?

Dulu yang ditakuti itu penguasa. Sekarang yang ditakuti itu komentar netizen. Dulu diam karena takut hilang nyawa, sekarang diam karena takut kehilangan follower.

Jadi, bukan AI yang bikin kita takut berpikir bebas. Tapi ketakutan itu sendiri yang sudah lama tinggal di saraf-saraf sejarah bangsa. AI cuma cermin. Dan kita panik lihat bayangan sendiri.

Jangan-jangan, kita ini bukan takut jadi seperti mesin. Kita ini takut sadar bahwa selama ini, kita memang belum pernah benar-benar jadi manusia seutuhnya.

Karena jadi manusia itu menyakitkan. Harus berani salah. Harus berani ditertawakan. Harus berani dicap gila karena berpikir beda dari arus.

AI itu dingin. Logis. Tidak punya perasaan. Kita ini penuh perasaan tapi malu menunjukkan. Katanya ingin jadi manusia yang otentik, tapi tak berani jadi manusia yang sepi, manusia yang melawan kerumunan.

Maka, kalau kau tanya aku, "Apa yang membedakan manusia dari AI?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun