Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Overthinking Dosen: Tanda Dedikasi atau Gagal Manajemen Diri?

25 Mei 2025   23:24 Diperbarui: 25 Mei 2025   23:40 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Overthinking dosen. (Images generated by Dall-E)

Mari kita jujur. Dosen yang overthinking di malam hari bukan fenomena langka. Itu sudah hampir jadi standar operasional tidak tertulis dalam dunia akademik Indonesia. Banyak dari kita bangga bisa begadang sampai dini hari, memikirkan revisi akreditasi, proposal hibah yang belum kelar, atau nasib mahasiswa yang makin hari makin akrab dengan ChatGPT ketimbang buku teks. Tapi mari kita berhenti sejenak dan bertanya: benarkah ini bentuk dedikasi? Atau kita sebenarnya sedang memperpanjang penderitaan yang kita ciptakan sendiri?

Overthinking adalah bukti bahwa kita tak bisa mematikan mode "dosen" bahkan ketika tubuh kita sudah berbaring di kasur. Pikiran kita tetap berkeliaran di ruang kelas, ruang senat, bahkan ruang WhatsApp grup jurusan yang tak kunjung sunyi. Kita menganalisis ulang jawaban mahasiswa di kuis tadi siang, merancang ulang RPS padahal semester baru masih jauh, dan sesekali membayangkan kalau saja kita punya waktu lebih banyak... kita tetap tidak akan tidur lebih cepat.

Ini bukan tentang kurangnya waktu. Ini tentang ketidakmampuan untuk membatasi pikiran. Dan ini gejala umum di kalangan akademisi: kita terlalu terbiasa menjadi pemikir, sampai-sampai lupa menjadi manusia.

"Semakin Sibuk, Semakin Bernilai" -- Mitos Berbahaya

Di lingkungan akademik kita, sibuk adalah simbol status. Dosen yang terlihat santai dicurigai tidak produktif. Dosen yang selalu siap siaga dipuja sebagai panutan. Kita menciptakan budaya kompetisi yang absurd---di mana kelelahan dianggap lencana kehormatan. Maka tak heran jika overthinking malah diam-diam dibanggakan. "Aku semalam nggak bisa tidur mikirin seminar nasional minggu depan" terdengar seperti pengakuan kepahlawanan intelektual. Padahal, itu pengakuan bahwa manajemen waktu dan kesehatan mental kita sedang kacau.

Apa ini dedikasi? Atau justru ketidakbecusan membagi energi?

Dosen seharusnya menjadi teladan. Tapi kalau kita sendiri tidak tahu cara berhenti berpikir, apa yang sedang kita ajarkan ke mahasiswa? Bahwa menjadi intelektual itu artinya menderita sepanjang waktu?

Digitalisasi Kampus = Beban yang Tak Pernah Padam

Kita hidup dalam era di mana mahasiswa bisa mengirim tugas lewat Google Classroom jam 11 malam dan berharap dibalas saat itu juga. Kita ada di dunia di mana grup WA dosen-mahasiswa tak pernah tidur, dan koordinasi lomba fakultas bisa dilakukan bahkan saat azan Subuh baru terdengar. Kita sebut ini kemajuan teknologi pendidikan, padahal ini sebenarnya perpanjangan jam kerja tanpa kompensasi.

Kita dipaksa siaga 24/7, tapi tak pernah diajari cara menjaga batas. Batas antara ruang kerja dan ruang batin. Antara suara notifikasi dan keheningan jiwa. Maka tak heran kalau kepala ini berisik saat tubuh mencoba diam. Kita bukan overthinking karena kita pintar. Kita overthinking karena kita tak pernah benar-benar tahu kapan berhenti.

Pertanyaan "Kenapa Saya Tak Bisa Tenang?" yang Tak Akan Terjawab

Setiap kali kita terbangun jam 3 pagi dan mulai memikirkan nilai akhir semester atau laporan BKD yang telat, kita sering bertanya: kenapa saya seperti ini? Tapi itu pertanyaan yang tidak membawa ke mana-mana. "Kenapa" adalah lubang kelinci yang tak ada ujungnya. Makin ditanya, makin dalam. Dan banyak dari kita tenggelam di sana.

Pertanyaannya bukan lagi kenapa kita overthinking, tapi kenapa kita terus membiarkannya terjadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun