Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sepeda Bengkok dan Negara Lurus-Lurus Saja

20 Mei 2025   06:46 Diperbarui: 20 Mei 2025   06:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepeda bengkok. (Sumber: velo-design.com/max-chen-art-velo1)

Di sebuah sudut gang sempit yang jarang dikunjungi Google Maps, berdirilah sepeda. Bukan sembarang sepeda. Ia bengkok. Lengkung. Meliuk seperti pertanyaan filsuf yang tak pernah mendapat jawaban pasti. Rangkanya seakan habis dipelintir oleh logika---atau mungkin oleh negara.

Sepeda ini tidak dibuat untuk dikendarai. Ia dibuat untuk bertanya. Dan pertanyaannya sederhana:
Mengapa kita begitu takut pada bentuk yang tidak biasa?

Dalam masyarakat yang menghamba pada keteraturan, kelurusan dianggap suci. Jalan lurus. Karier lurus. Pemikiran lurus. Bahkan keimanan pun, katanya, harus lurus. Tapi sepeda ini menantang semuanya. Ia bilang: "Aku bengkok, tapi aku tidak bohong." Lain dengan pejabat yang terlihat lurus, tapi berkeloknya dalam rekening.

Sepeda ini adalah pernyataan politis.

Negara dan Sepeda

Negara, dalam definisi klasiknya, adalah institusi yang menjaga keteraturan. Tapi dalam praktiknya, negara lebih mirip montir yang memaksa semua kendaraan agar berbentuk sedan. Sepeda, motor, bahkan odong-odong sekalipun, harus diluruskan demi estetika nasional. Tapi apa jadinya kalau sepeda itu menolak? Apa jadinya kalau sepeda ingin menjadi dirinya sendiri---berliku, meliuk, dan membingungkan?

Maka ia akan dibilang sesat. Atau setidaknya: rusak.
Padahal bisa jadi, dalam kebengkokannya itu, sepeda sedang menunjukkan betapa tidak lurusnya sistem yang memaksakan kelurusan.

Sepeda ini seperti aktivis kampus yang melengkungkan argumen di ruang-ruang senat mahasiswa. Atau dosen yang, alih-alih mengejar jabatan, memilih menulis puisi di ruang dosen. Ia tidak produktif secara administratif, tapi subur secara eksistensial.

Logika Sepeda, Logika Manusia

Aristoteles pernah bilang: manusia adalah hewan yang berpikir. Tapi Aristoteles tidak pernah melihat sepeda. Seandainya dia hidup di era ini, dia akan berkata:

"Manusia adalah sepeda bengkok yang ingin terlihat lurus di depan kamera."

Kita meluruskan rambut, meluruskan niat, meluruskan orientasi politik demi jabatan. Tapi di dalam, kita meliuk-liuk seperti sepeda ini. Ada hasrat yang terpelintir. Ada ide yang dibengkokkan. Semua demi diterima dalam struktur yang katanya 'normal'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun