Dalam dunia akademik kita yang kerap terjebak dalam jargon dan kebakuan gaya, menulis buku ilmiah masih dianggap sebagai tugas mulia yang sakral---tapi, seringkali terasa jauh dari kehidupan nyata. Makalah Signifikansi Menulis Buku Ilmiah yang Membumi oleh Bambang Trim mengusik kenyamanan ini dengan pertanyaan mendasar: apakah ilmu yang tidak dipahami masyarakat masih layak disebut ilmu?
Bambang Trim, seorang penulis kawakan yang telah melahirkan lebih dari 300 buku dan menyunting ribuan lainnya, menyerukan pentingnya membumikan ilmu. Ilmu pengetahuan, menurutnya, tidak hanya harus benar, tetapi juga harus bisa dimengerti dan dinikmati. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, pengetahuan yang tidak komunikatif adalah pengetahuan yang mandul.
Ilmu Jangan Tinggal di Menara Gading
Dalam paparannya, Bambang membedakan antara buku ilmiah yang eksklusif dan buku ilmiah yang membumi. Buku ilmiah yang membumi adalah karya yang ditulis dengan bahasa yang dapat dijangkau oleh masyarakat umum, tetap mempertahankan nilai akademik namun tidak terjebak dalam kompleksitas tak perlu. Buku ini tidak hanya logis dan sistematis, tapi juga komunikatif dan kreatif. Ia hadir sebagai teman berpikir, bukan hakim intelektual.
Mary Somerville, ilmuwan abad ke-19, menjadi teladan. Bukunya On the Connexion of the Physical Sciences menjelaskan gravitasi, magnetisme, hingga termokimia dalam bahasa yang indah dan sederhana. Bukunya laris. Mengapa? Karena ia menulis bukan untuk mengagumi ilmunya sendiri, tapi untuk membaginya dengan dunia.
Bandingkan dengan banyak buku ilmiah kita hari ini yang ditulis dengan struktur baku, judul normatif, dan penuh istilah asing yang bahkan penulisnya sendiri terkadang sulit menjelaskannya dalam percakapan santai.
Mengakhiri "Kutukan Pengetahuan"
Steven Pinker, dalam bukunya The Sense of Style, menyebut fenomena ini sebagai "the curse of knowledge". Sebuah kondisi ketika orang yang tahu terlalu banyak justru tidak mampu menjelaskan pada mereka yang belum tahu. Kita terlalu sering menulis dengan asumsi bahwa pembaca memiliki latar belakang yang sama dengan penulis. Hasilnya adalah tulisan-tulisan yang eksklusif, elitis, dan gagal menyampaikan pesan utama: ilmu itu untuk semua.
Saya sendiri pernah membaca buku akademik yang begitu rumit, hingga harus membuka kamus setiap lima menit. Pada akhirnya, saya merasa bodoh bukan karena tidak mengerti, tetapi karena penulisnya tidak ingin saya mengerti.
Menulis Bukan untuk Menguji, Tapi Menghidupkan
Menulis buku ilmiah seharusnya bukan untuk menguji pembaca, tapi untuk menghidupkan diskusi, menggugah rasa ingin tahu, bahkan memantik perubahan sosial. Bambang Trim menekankan pentingnya struktur naratif yang lebih cair, seperti prolog--masalah--solusi--epilog, ketimbang skema akademik kaku. Buku tidak hanya boleh, tapi harus "bercerita" jika ingin menyentuh lebih banyak kalangan.
Ia juga menyoroti pentingnya mengubah karya ilmiah nonbuku---tesis, disertasi, laporan riset---menjadi buku yang bisa dinikmati. Konversi ini bukan bentuk simplifikasi, melainkan demokratisasi pengetahuan. Sains, jika hanya tinggal di perpustakaan kampus dan tidak menyapa pasar buku populer, hanya akan berputar-putar dalam lingkaran yang itu-itu saja.