Setiap kali kata "gender" diucapkan di forum akademik, respons mayoritas hampir selalu seragam: perempuan, perempuan, dan perempuan. Gender seakan menjadi sinonim dari perjuangan perempuan, dan ruang diskusi soal ketimpangan langsung mengarah ke satu arah: laki-laki sebagai pelaku, perempuan sebagai korban. Sementara suara dari sisi maskulinitas? Hampir selalu tenggelam, bahkan dianggap salah kamar.
Padahal, problem gender tak pernah sesederhana itu.
Ada kekeliruan sistematis yang terus direproduksi oleh institusi pendidikan, keluarga, dan bahkan wacana ilmiah itu sendiri: bahwa ketimpangan hanya menimpa perempuan. Maka ketika muncul suara yang mencoba membela maskulinitas---bukan dalam rangka supremasi, tapi kesetaraan---reaksinya pun kerap sinis: dianggap tidak paham, bahkan berbahaya. Seolah-olah memperjuangkan keadilan bagi laki-laki adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan emansipasi.
Di sinilah kejujuran akademik diuji.
Mari kita bicara fakta. Dalam banyak rumah tangga, anak laki-laki seringkali tidak diberi ruang untuk mengekspresikan identitasnya secara bebas karena keluarga lebih dominan memihak anak perempuan. Seorang anak laki-laki yang memiliki tiga saudara perempuan, misalnya, harus bermain boneka karena tidak ada mainan lain. Ini bukan soal sepele. Ini adalah bentuk pemaksaan identitas yang dibungkus dengan alasan "praktis", tapi berdampak panjang dalam pembentukan konsep diri.
Di ruang kelas, fenomenanya lebih pelik. Ketika jumlah murid laki-laki minoritas dan gurunya mayoritas perempuan, perlakuan yang muncul bisa jadi bias. Dari pemberian tugas, pemilihan aktivitas belajar, hingga respons terhadap perilaku---semuanya bisa sarat prasangka. Ada siswa laki-laki yang dihukum lebih keras karena dianggap "tidak sopan", padahal siswa perempuan yang melakukan hal serupa justru dimaafkan karena "sedang sensitif".
Ironisnya, ini semua terjadi di institusi pendidikan yang seharusnya menjadi benteng rasionalitas.
Belum lagi di ruang kerja. Dalam lingkungan profesional yang mayoritas perempuan, laki-laki sering kali menjadi minoritas yang harus "beradaptasi"---bukan secara fungsional, tapi secara kultural. Mereka diharapkan halus, patuh, bahkan kadang tunduk pada dinamika yang tidak netral gender. Jika ada resistensi, langsung dicap toksik, tidak kooperatif, atau bahkan misoginis. Padahal yang diminta hanya perlakuan setara, bukan dominasi.
Namun argumen seperti ini sering dicap sebagai bentuk male fragility---istilah keren yang kerap dipakai untuk membungkam setiap usaha pembelaan terhadap maskulinitas. Sebuah paradoks yang memprihatinkan: memperjuangkan perempuan disebut emansipatif, tapi memperjuangkan laki-laki disebut rapuh.
Apa yang salah di sini?