Dalam dunia akademik, diskusi seringkali bukan sekadar soal gagasan---tetapi juga tentang kepribadian, hierarki, dan cara menyampaikan pendapat. Banyak orang pandai berbicara, tetapi tidak semua orang mampu berdiskusi dengan elegan. Elegansi di sini bukan tentang tata bahasa yang tinggi atau kutipan Latin yang panjang, melainkan tentang kemampuan menjaga marwah dialog meskipun berbeda pandangan---khususnya ketika berhadapan dengan karakter senior yang kuat secara pengalaman dan kuasa simbolik.
Baru-baru ini, dalam sebuah forum diskusi di grup WA kampus penulis, yang membahas pemilihan pimpinan perguruan tinggi, muncul dinamika yang menarik. Seorang dosen (penulis) menulis opini kritis tentang kualitas kandidat rektor. Tulisan itu menyajikan analisis berbasis data: indeks publikasi, pengalaman struktural, hingga rekam jejak digital. Sebuah tulisan yang, meski tidak menyebut nama, menyinggung lanskap kelembagaan yang stagnan.
Namun, salah satu calon rektor yang juga peserta diskusi, seorang akademisi senior, memberikan respons yang tidak kalah menarik. Ia tidak membantah langsung isi tulisan, melainkan menempuh jalur humor, pengakuan diri, dan parade rekam jejak. Kalimat-kalimat seperti, "saya hanya meramaikan suasana," atau "saya yang paling tidak berkualitas," terdengar ringan, tetapi menyimpan lapisan lain: pembelaan diri yang halus.
Respon tersebut diikuti oleh daftar panjang pengalaman: dari pendiri lembaga hingga konsultan nasional, dari gerakan keagamaan hingga diplomasi lokal. Semua itu disampaikan bukan untuk menyerang balik, tetapi untuk menyeimbangkan narasi. "Tulisanmu bagus," kira-kira begitu subteksnya, "tapi jangan lupa, ada pengalaman lain yang tidak terdata dalam Scopus."
Inilah yang menarik: ketika kritik berbasis sistem bertemu dengan pembelaan berbasis pengalaman personal. Dua dunia ini jarang bisa disatukan, tapi justru di situlah letak pembelajaran bagi kita semua: bagaimana berdiskusi dengan tetap elegan, bahkan saat berbeda pandangan.
Pelajaran #1: Jangan Terjebak dalam Ego Data
Banyak penulis tergoda untuk menyandarkan seluruh argumennya pada data. Padahal dalam ruang diskusi sosial, data bukan segalanya. Ia hanya bagian dari narasi. Orang-orang senior tidak hidup di zaman indeks, mereka hidup di zaman relasi, konsensus, dan aksi. Maka ketika Anda membawa data, bawalah juga empati. Alih-alih berkata, "ini semua rendah," lebih baik berkata, "data ini bisa jadi bahan refleksi bersama."
Pelajaran #2: Humor Itu Senjata, Gunakan dengan Lugas
Baik si penulis maupun tokoh senior sama-sama menggunakan humor. Tapi yang membedakan adalah intensinya. Humor sang penulis meredakan tensi ("saya hanya komentator bola"), sementara humor si senior justru menyelipkan pertahanan ("saya hanya penggembira kok, meski pendiri banyak lembaga"). Keduanya sah. Tapi yang perlu dicatat adalah: humor yang baik adalah yang membuat semua orang tertawa, bukan hanya yang melontarkannya.
Pelajaran #3: Elegansi Itu Tetap Tenang Saat Disinggung
Ketika kritik dibalas dengan pembelaan panjang dan nyaris personal, mudah bagi kita untuk merasa tersudut. Tapi elegansi justru diuji di situ: mampu tetap berada di dataran ide, meski ditarik ke dataran emosi. Menjawab dengan tawa, menghindari balas menyerang, adalah bentuk keunggulan karakter yang tidak mudah diajarkan, tapi bisa dilatih.
Pelajaran #4: Jangan Takut pada Kuasa Simbolik
Dalam kampus, ada banyak "sosok besar"---bukan hanya karena jabatan, tapi juga karena sejarah panjang kontribusinya. Kita menghargai itu. Tapi penghargaan tidak berarti membungkam pikiran. Kita bisa tetap kritis, tapi dengan cara yang tidak merendahkan. Seperti menulis: "apa yang saya sampaikan bukan untuk menjatuhkan tokoh, tapi untuk mendorong sistem lebih terbuka pada meritokrasi."
Pelajaran #5: Menangkan Wacana, Bukan Kompetisi
Tujuan berdiskusi bukan untuk "menang", tapi untuk memperkaya cara pandang. Jika tulisan Anda membuat orang berdialog, lalu membongkar rekam jejaknya sendiri, itu artinya Anda sudah berhasil menggugah. Anda tidak perlu membantah semua poin satu per satu. Biarkan publik menilai. Di situlah letak keunggulan: memicu perubahan tanpa harus memegang kendali.