Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Resensi Buku: Social Media and Politics in Southeast Asia

1 Mei 2025   09:13 Diperbarui: 1 Mei 2025   09:13 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover buku. (Dok.pribadi) 

Judul Buku: Social Media and Politics in Southeast Asia
Penulis: Merlyna Lim
Penerbit: Cambridge University Press
Tahun Terbit: 2024
Jumlah Halaman: 85 halaman
ISBN: 978-1-009-54807-6

Resensi Buku:

Buku Social Media and Politics in Southeast Asia karya Merlyna Lim merupakan kajian mutakhir yang tajam dan kritis mengenai hubungan kompleks antara media sosial dan politik di kawasan Asia Tenggara. Berbasis riset longitudinal yang ekstensif serta pendekatan interdisipliner, buku ini menyajikan argumen kuat mengenai bagaimana media sosial berperan ganda---sebagai alat pembebasan politik sekaligus sebagai instrumen otoritarianisme digital.

Lim mengawali buku dengan menggarisbawahi pentingnya konteks lokal Asia Tenggara. Kawasan ini bukan hanya wilayah dengan tingkat penetrasi media sosial yang tinggi, tetapi juga merupakan arena politik yang dinamis, penuh dengan keragaman sistem pemerintahan---dari demokrasi yang berkembang seperti Indonesia dan Filipina, hingga negara otoriter seperti Vietnam dan Myanmar. Dengan demikian, buku ini menjawab kekosongan literatur yang selama ini didominasi oleh studi-studi tentang Barat.

Tesis utama Lim adalah bahwa media sosial di Asia Tenggara tidak bisa dikotakkan sebagai agen demokratisasi atau sebaliknya. Ia memaparkan bagaimana platform digital bersifat ambivalen: bisa digunakan oleh aktivis pro-demokrasi untuk mobilisasi akar rumput, namun juga dengan mudah dimanfaatkan oleh rezim otoriter untuk menyebarkan disinformasi dan menekan kebebasan berekspresi. Konsep communicative capitalism yang ia gunakan menjelaskan bagaimana algoritma dan logika pemasaran mendominasi wacana publik, menggeser politik dari diskursus substansial ke perang emosi dan branding.

Salah satu kontribusi menarik dalam buku ini adalah pembahasan tentang algorithmic enclaves, yaitu ruang digital yang terbentuk oleh algoritma dan dipertahankan oleh pengguna berdasarkan identitas bersama---seringkali dalam format biner: kita vs mereka. Lim menunjukkan bahwa media sosial di Asia Tenggara telah menjadi arena pertempuran identitas yang emosional dan sangat mudah dieksploitasi untuk tujuan politik. Fenomena ini diperparah oleh dominasi konten viral yang memicu kemarahan atau kegembiraan, alih-alih diskusi rasional.

Buku ini terbagi dalam enam bab. Setelah pengantar teoritis di bab pertama, Lim memetakan kondisi teknologi dan sosial-politik di kawasan Asia Tenggara pada bab kedua. Ia mengungkap bagaimana konektivitas mobile menjadi pendorong utama ledakan media sosial. Negara-negara seperti Filipina dan Indonesia bahkan masuk dalam daftar pengguna media sosial paling aktif di dunia. Namun, tingginya konektivitas ini tidak serta-merta menjamin kebebasan digital, sebab hampir semua negara di kawasan ini memiliki sistem kontrol internet yang represif.

Bab ketiga memberikan highlight negara-negara secara individual. Di sini terlihat variasi yang menarik: Malaysia mengalami gelombang demokratisasi digital yang kemudian stagnan; Myanmar jatuh ke dalam kegelapan pasca kudeta; dan Vietnam tetap mempertahankan kontrol ketat meskipun memiliki tingkat literasi digital yang tinggi.

Bab keempat menggali lebih dalam soal aktivisme akar rumput. Lim menampilkan contoh-contoh konkret bagaimana aktivis menggunakan media sosial untuk membangun solidaritas, mempopulerkan tagar, dan memengaruhi opini publik. Namun ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan ini seringkali bersifat temporer dan rentan terhadap kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih besar.

Bab kelima adalah analisis tentang peran media sosial dalam kampanye politik dan pemilu. Ia memaparkan strategi algorithmic politics di mana politisi menyewa buzzer, konsultan digital, dan menggunakan iklan bertarget untuk mendominasi wacana. Disinformasi menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi ini. Negara-negara seperti Filipina dan Indonesia menjadi studi kasus penting untuk praktik-praktik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun