Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

QRIS dan GPN Diambilalih Trump Wajib Kita Pertahankan

22 April 2025   10:42 Diperbarui: 23 April 2025   17:12 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kedaulatan ekonomi Indonesia. (Images generated by AI) 

Pada suatu pagi yang cerah di Nusantara, seorang ibu sedang membeli sayur di pasar. Dengan bangga, ia menempelkan ponselnya ke papan kode QR bertuliskan "QRIS Bangkit untuk Negeri". Dalam satu detik, transaksi terjadi, dompet digitalnya terpotong Rp12.500, dan ia melenggang sambil bersenandung lagu "Indonesia Raya." Namun, jauh di seberang lautan, terdengar suara geram dari Gedung Putih. "Mengapa bukan PayPal? Mengapa bukan Stripe? Mengapa bukan Visa?" pekik seorang pejabat Amerika sambil menggigit pena seperti tokoh antagonis sinetron.

Ya, inilah pangkal petaka: QRIS dan GPN. Dua singkatan yang tampaknya sepele, tapi ternyata cukup untuk membuat jantung ekonomi global berdetak tak teratur seperti lagu dangdut koplo dalam versi techno.

Amerika Serikat, negeri dengan defisit dagang sebesar USD 775,6 miliar pada 2023, tiba-tiba merasa terancam oleh QR code buatan negeri +62. Mengapa? Karena ternyata kedaulatan negara adidaya bisa terpatahkan hanya dengan kamera ponsel dan koneksi 4G.

QRIS: Kode yang Membuat Paman Sam Meriang

Diluncurkan sejak 2019, QRIS kini telah digunakan oleh lebih dari 30 juta merchant di Indonesia. Volume transaksinya? Tembus Rp28 triliun per Maret 2025. Cukup untuk membiayai pengaspalan ulang jalan dari Sabang sampai Merauke, plus bonus pembangunan tugu QRIS setinggi Monas.

GPN pun tak kalah mematikan---setelah diberlakukan, transaksi kartu domestik meningkat pesat, dan biaya yang biasa "terdampar" ke luar negeri kini berputar dalam negeri seperti ayam kampung yang tidak pernah migrasi.

Namun, AS melihat ini sebagai ancaman serius. Bukannya fokus pada inflasi mereka yang naik 3,4% atau harga telur yang mencapai USD 4 per lusin, mereka malah fokus pada satu hal: kenapa QR di Indonesia tidak mencetak dolar?

GPN: Gerbang Menuju Pengasingan Globalisasi

Bayangkan ini: sebuah sistem pembayaran yang tak memerlukan jaringan Visa-Mastercard, tak memotong biaya transaksi dalam USD, dan tak perlu memohon restu dari Silicon Valley. Ini jelas merupakan kudeta terhadap demokrasi kapitalis. Dan yang lebih tragis---Indonesia melakukannya sambil mengenakan batik, bukan jas Armani.

Menurut data Bank Indonesia, penggunaan GPN telah menghemat biaya transaksi lintas jaringan hingga Rp1,2 triliun per tahun. Itu berarti sekitar 4,8 juta porsi nasi padang (asumsi rendang Rp25.000/porsi)---atau setara dengan jumlah rendang yang cukup untuk menyogok seluruh Dewan Keamanan PBB agar tidak protes terhadap monopoli cabai oleh emak-emak.

Negosiasi Dagang: Drama Korea ala WTO

Ketika AS menyampaikan nota protes, Indonesia merespons dengan gaya ala sinetron jam 7: "Kami paham kekhawatiranmu, tapi ini demi anak cucu kami, demi merah putih kami!" Pemerintah kemudian menawarkan solusi damai: negosiasi selama 60 hari, atau setara dengan 8 siklus penukaran Shopee Coins. Namun, beberapa pejabat AS tetap berkeras bahwa "QRIS merusak kompetisi." Padahal kompetisi yang dimaksud barangkali adalah kompetisi siapa paling dulu men-charge biaya admin.

Prabowo, sang presiden yang konon nasionalis dan patriot, menatap tajam ke kamera (mungkin untuk vlog). "Kita bukan anti asing," katanya sambil menyeruput kopi. "Tapi kita cinta negeri ini. Kalau bayar gorengan pakai QR buatan sendiri dianggap pelanggaran WTO, mungkin kita perlu ubah logo Garuda jadi kode QR."

Kedaulatan dalam Genggaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun