Ada sesuatu yang selalu menarik dari ujung kekuasaan. Bukan hanya tentang siapa yang datang menggantikan, tapi tentang bagaimana seorang pemimpin pamit. Dalam budaya Jawa, dikenal falsafah "lengser keprabon madeg pandhito"—turun tahta, lalu menjadi penasihat bijak. Kalimat itu bukan sekadar ungkapan turun jabatan; ia adalah pelajaran hidup, tentang tahu kapan berhenti, dan bagaimana memberi makna pada akhir.
Sejak Indonesia merdeka, kita telah menyaksikan para presiden menutup masa baktinya dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang dipaksa lengser, ada yang legowo melangkah pergi, ada pula yang pamit dengan kata-kata menyentuh, sekaligus penuh makna. Saat saya merenunginya, saya merasa bahwa dari cara mereka mengakhiri jabatan, kita bisa melihat karakter sejati seorang pemimpin.
Soekarno, Sang Proklamator, mengakhiri kekuasaan dalam sunyi. Lewat pidato Nawaksara yang ditolak MPRS, ia tetap berdiri dengan idealisme revolusi. Ia tak menyerah pada logika politik, justru tetap percaya pada sejarah yang akan menilainya kelak. Bagi saya, keheningan di akhir kepemimpinan Soekarno justru paling lantang—karena ia memilih untuk tidak melawan dengan kekerasan, tetapi dengan keyakinan.
Soeharto, yang memimpin selama 32 tahun, akhirnya menyatakan berhenti dengan satu kalimat yang terus dikenang: "Lengser keprabon, madeg pandhito." Dan satu lagi yang lebih membumi: "Ora dadi presiden, ora patheken." Saya melihat kalimat ini sebagai simbol paradoks: seorang penguasa otoriter yang pada akhirnya harus legawa mundur karena desakan rakyat. Di situ ada pelajaran tentang batas kekuasaan. Bahwa sebesar apapun seseorang mengendalikan negara, ia tidak lebih besar dari bangsa itu sendiri.
Habibie, dengan segala kejeniusannya, justru menunjukkan kelegawaan yang luar biasa. Setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak, ia mundur tanpa gaduh. Diamnya adalah ketegasan. Dalam hatinya mungkin ada luka, tapi tak ada dendam. Ia tahu, kepergiannya adalah bagian dari jalan demokrasi. Dari beliau, saya belajar bahwa terkadang keputusan terbaik adalah membiarkan sejarah berjalan tanpa kita di tengahnya.
Gus Dur—ah, ini bagian favorit saya. Ia berkata: "Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian." Sebuah kalimat yang sederhana, tapi dalam. Betapa langkanya pemimpin yang bisa berkata seperti itu. Dalam dunia yang dipenuhi orang rakus jabatan, Gus Dur memberi kita contoh pemimpin yang bisa tertawa sambil melepas kursi kekuasaan. Barangkali karena sejak awal, ia tak pernah benar-benar melekatkan kekuasaan pada dirinya.
Megawati memang tidak terlalu dikenal dengan kalimat perpisahan yang puitis. Tapi sikap diamnya saat kalah di pemilu 2004, lalu menyerahkan kekuasaan kepada SBY dengan kepala tegak, adalah bentuk elegansi dalam politik. Tidak semua pemimpin bisa diam dengan hormat. Dari Megawati, saya belajar bahwa kekuatan tidak selalu harus bersuara.
SBY, dalam pidato perpisahannya, mengatakan: "Masuk dengan terhormat, keluar dengan terhormat." Kalimat itu terdengar klise, tapi saat keluar dari mulut seorang jenderal yang dua kali menang pemilu, ia menjadi pengingat bahwa kekuasaan harus dibungkus dengan kehormatan, bukan ambisi. Ia bahkan berkata, "Satu hari pun tidak", menolak perpanjangan masa jabatan. Saya pikir itu sikap yang langka hari ini.
Dan Jokowi, dalam pidato kenegaraan terakhirnya, memilih kata-kata yang paling manusiawi: "Mohon maaf untuk setiap hati yang mungkin kecewa." Dalam era digital yang bising, Jokowi menutup masa jabatannya dengan nada lembut, penuh kerendahan hati. Saya membacanya sebagai bentuk kesadaran bahwa tidak semua janji bisa ditunaikan, dan tidak semua niat baik bisa memuaskan semua orang.
Jika saya renungkan, hampir semua pemimpin kita—baik yang dipuja maupun dikritik—pada akhirnya harus berdamai dengan kenyataan: kekuasaan itu sementara. Dan justru pada momen pamit itu, keaslian mereka paling terlihat. Apakah mereka bisa mundur dengan anggun? Apakah mereka bisa mengakui kekurangan? Apakah mereka bisa memberi ruang bagi generasi selanjutnya?