"Bangsa yang besar bukan hanya yang bisa membangun jalan tol, tetapi yang bisa membuka jalan hidup bagi rakyatnya." Demikian seharusnya makna pembangunan dalam konteks kekinian. Pemerintahan Prabowo-Gibran membawa semangat besar: menciptakan 19 juta lapangan kerja, membangun sekolah unggul terintegrasi, memperkuat hilirisasi, dan mendorong kewirausahaan. Strategi ini terlihat ambisius, bahkan progresif di atas kertas. Namun, seperti dalam setiap cerita perubahan, keberanian bukanlah cukup. Dibutuhkan ketepatan melihat akar persoalan, keberanian mengevaluasi, dan---yang paling sulit---kerendahan hati untuk belajar dari kegagalan masa lalu.
Kita hidup di zaman paradoks: kemajuan digital begitu pesat, tapi pengangguran kaum muda tetap tinggi. Revolusi industri 4.0 menjanjikan efisiensi, tapi justru menggeser jutaan pekerjaan tradisional. Sementara itu, pasar kerja kita masih menumpuk pada low-skill labor, dan sistem pendidikan berjalan dalam dimensi yang berbeda dari kebutuhan industri. Pertanyaannya: apakah strategi Prabowo-Gibran sudah benar-benar menyentuh inti persoalan?
Mari kita mulai dengan sekolah unggul terintegrasi. Konsep ini menarik, bahkan terdengar revolusioner. Tapi pertanyaannya: integrasi dengan siapa? Dunia industri saat ini berubah begitu cepat---AI, blockchain, green economy. Apakah sekolah-sekolah itu akan mampu beradaptasi dalam kurikulum yang hidup dan fleksibel? Apakah pengajarnya cukup terlatih dalam dinamika ini? Jika tidak, kita hanya akan memproduksi lulusan-lulusan yang kembali kecewa di gerbang pasar kerja.
Kemudian ada strategi hilirisasi dan industrialisasi, yang menjadi mantra baru pembangunan ekonomi Indonesia. Hilirisasi nikel, misalnya, sudah menghasilkan nilai tambah. Tapi siapa yang menikmati pekerjaan itu? Apakah warga lokal mendapat pelatihan? Ataukah kita sedang membangun pabrik untuk tenaga kerja asing? Jika hilirisasi hanya menjadi proyek elite dan tak membuka peluang konkret bagi rakyat banyak, maka ia hanya akan menjadi hilirisasi kapital, bukan hilirisasi keadilan.
Insentif bagi perusahaan yang menyerap tenaga kerja juga patut diapresiasi. Tapi kita harus hati-hati. Insentif tanpa pengawasan justru membuka celah eksploitasi. Kita tak ingin lapangan kerja dibuka dalam bentuk upah minimum yang tak layak atau kontrak yang tak manusiawi. Insentif itu harus disertai indikator kualitas kerja: keamanan kerja, jaminan sosial, dan kesempatan naik kelas. Tanpa itu, kita hanya akan melanggengkan bentuk baru dari kerja murah.
Namun, yang paling potensial---dan sekaligus paling rapuh---adalah gagasan besar mereka tentang kewirausahaan milenial dan UMKM berbasis teknologi. Ini adalah medan di mana mimpi besar dan kenyataan pahit seringkali berseberangan. Kita selalu bangga dengan jargon: "anak muda harus jadi job creator." Tapi apakah negara sudah hadir sebagai enabler sejati? Apakah akses modal betul-betul adil? Apakah pendampingan bisnis dilakukan dengan akal sehat, bukan hanya pelatihan motivasi kosong? Bila tidak, maka wirausaha hanya akan menjadi pelarian dari pengangguran, bukan pilihan karier yang bermakna.
Di sinilah saya mengusulkan pendekatan baru: strategi pembangunan regeneratif. Bukan hanya memikirkan pertumbuhan jangka pendek, tetapi pembangunan yang merangkul keberlanjutan sosial, ekologis, dan spiritualitas kebangsaan. Artinya:
Bangun ekosistem, bukan hanya proyek.Jangan hanya ciptakan sekolah unggul, ciptakan ekosistem belajar sepanjang hayat---dari taman baca desa sampai coworking space di kecamatan.
Fokus pada ekonomi komunitas.Berdayakan desa sebagai pusat inovasi lokal, bukan hanya target pembangunan top-down. Kembangkan koperasi digital, pertanian regeneratif, dan ekowisata berbasis warga.
Buka ruang partisipasi pemuda dalam kebijakan.Jangan hanya pekerjakan anak muda. Libatkan mereka dalam desain program, beri mereka akses, agensi, dan aksi. Mereka tahu apa yang mereka butuhkan---dengar mereka.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!