Bayangkan seorang wartawan datang ke redaksi dan berkata, "Saya menyaksikan kericuhan, ada yang ditangkap, suasananya panas, saya sudah catat semuanya di kepala." Lalu ketika ditanya: "Mana rekamannya? Mana fotonya?" Ia menjawab, "Tidak ada, tapi saya ingat kok." Kalau begini, jurnalisme bisa berubah jadi lomba mengarang bebas tingkat nasional.
Di era digital, di mana setiap orang bisa merekam, memotret, dan menyebarkan informasi dalam hitungan detik, seorang wartawan yang datang tanpa bukti liputan layaknya detektif tanpa barang bukti di persidangan. Validitas berita bukan sekadar pada narasi, tetapi pada verifikasi. Dan verifikasi membutuhkan jejak digital atau dokumentasi konkret.
Pertanyaannya sederhana: apa yang membedakan wartawan dari penyebar hoaks? Jawabannya: standar kerja dan pembuktian. Seorang wartawan profesional tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan secara legal dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tapi perlindungan hukum itu bukan cek kosong, ia mensyaratkan tanggung jawab, terutama dalam menjaga kebenaran informasi.
Pasal 1 ayat (1) KEJ menyatakan:
"Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk."
Dan Pasal 3:
"Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah."
Bagaimana cara menguji informasi jika tidak ada rekaman? Bagaimana menyatakan berita itu "berimbang" jika tidak bisa dibuktikan narasumbernya benar-benar berbicara?
Lebih jauh, Pasal 6 huruf c UU No. 40/1999 menyebutkan bahwa salah satu fungsi pers adalah:
"melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum."