"Wrong does not cease to be wrong because the majority share in it." --- Leo Tolstoy
Di era ketika opini publik mudah dibentuk oleh media dan buzzer politik, kita patut bertanya ulang: apakah kebenaran masih punya tempat di ruang demokrasi? Atau sudah dikudeta oleh statistik dan survei popularitas? Kasus ijazah mantan presiden Jokowi adalah cermin buram dari krisis integritas yang dibungkus legitimasi mayoritas.
UGM menyatakan ijazah itu asli. Pengadilan menolak gugatan. KPU pernah memverifikasi. Dan 58% rakyat Indonesia, menurut survei, percaya bahwa ijazah itu sah. Maka, menurut logika demokrasi elektoral, kasus ini seolah selesai. Titik. Tapi logika moral dan akal sehat tidak pernah tunduk pada angka.
Justru di sinilah kutipan Leo Tolstoy terasa menampar: "Kesalahan tidak berhenti menjadi kesalahan hanya karena mayoritas mempercayainya." Jumlah tidak pernah jadi penentu etika. Dan klaim kebenaran tidak pernah sah jika berdiri tanpa transparansi. Sementara di sisi lain, publik belum pernah melihat Jokowi secara langsung memegang, menunjukkan, atau memverifikasi ijazahnya di ruang terbuka. Pertanyaannya sederhana: kalau memang tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus enggan memperlihatkannya?
TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) mungkin hanyalah segelintir. Mereka minoritas. Tapi bukankah demokrasi yang sehat justru diukur dari bagaimana ia memperlakukan minoritas yang bertanya, bukan mayoritas yang diam? Dalam tradisi republik, pertanyaan adalah fondasi utama akuntabilitas.
Ada kesan bahwa opini mayoritas telah dijadikan tameng. Seolah siapa pun yang meragukan, otomatis anti-pemerintah, anti-demokrasi, atau penganut teori konspirasi. Ini cara berpikir yang berbahaya. Kita tidak sedang membicarakan kebencian, tapi kejujuran. Tidak sedang memperdebatkan elektabilitas, tapi integritas.
Apakah benar rakyat tidak berhak bertanya tentang otentisitas dokumen seorang pemimpin? Apakah karena sudah dipilih lewat pemilu, maka presiden kebal dari permintaan pembuktian? Demokrasi bukan sekadar kotak suara, melainkan juga keterbukaan terhadap audit moral.
Sikap ngotot tidak menunjukkan ijazah justru merusak kredibilitas itu sendiri. Ini bukan hanya soal dokumen pendidikan, tapi simbol transparansi. Jika perkara sederhana seperti ijazah saja tidak bisa diperlihatkan, bagaimana publik bisa percaya pada komitmen keterbukaan dalam hal-hal yang lebih besar?
Ironisnya, di tengah badai krisis kepercayaan ini, justru yang bersuara kritis kerap dilabeli "pembenci negara". Padahal, dalam negara yang sehat, pertanyaan tidak boleh dijawab dengan ancaman, melainkan dengan jawaban. Dan jawaban terbaik bukanlah pernyataan dari institusi, tapi bukti dari pihak yang bersangkutan.
Mungkin benar, hari ini publik lebih percaya pada suara mayoritas. Tapi sejarah akan mencatat, bahwa di balik mayoritas yang percaya, ada minoritas yang terus bertanya. Dan dalam demokrasi, pertanyaan yang jujur lebih berharga dari jawaban yang ramai.