Indonesia bukan sekadar krisis ekonomi atau politik. Kita sedang berada dalam krisis yang lebih sunyi tapi menggerogoti fondasi peradaban: darurat membaca. Ironisnya, krisis ini justru paling menyolok di tempat yang seharusnya jadi jantung intelektualitas---kampus. Ketika mahasiswa hanya membaca karena tugas dan dosen jarang membuka jurnal ilmiah terkini, maka universitas hanya jadi pabrik ijazah, bukan pabrik pemikiran.
Mari bicara data, bukan sekadar keresahan. Menurut UNESCO, minat baca Indonesia adalah 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar berminat membaca. Data PISA 2022 memperkuat ironi ini: skor membaca Indonesia merosot ke 359, posisi terendah sepanjang sejarah partisipasi kita. Padahal, rerata global berada di angka 487. Dengan peringkat ke-75 dari 80 negara, kita nyaris menyentuh dasar jurang.
Bukan hanya murid sekolah dasar yang payah membaca, mahasiswa kita pun tak lebih baik. Survei menunjukkan hanya 10% penduduk Indonesia yang "rajin membaca buku", dan di kalangan mahasiswa, 44% lebih memilih chatting di waktu luang ketimbang membaca. Hanya 11% mahasiswa membaca karena hobi. Sisanya? Baca hanya kalau ada tugas. Lalu, kita berharap mereka jadi intelektual? Apa tidak terlalu optimis?
Salahkan siapa? Mudah menunjuk teknologi dan media sosial, tapi akar masalahnya lebih dalam. Kita hidup dalam budaya lisan, bukan budaya literasi. Orang yang rajin membaca justru kerap dicap "kutu buku", tidak gaul, dan sok intelek. Bagi banyak keluarga, buku adalah barang mewah. Harga beras lebih penting daripada harga buku. Dan dosen? Banyak yang menjadikan membaca sebagai kenangan masa muda, bukan kebiasaan harian. Tak heran kalau kuliah hanya jadi forum slide dan copy-paste.
Kondisi perpustakaan kampus pun memperparah. Banyak perpustakaan seperti museum sunyi. Sudut baca kosong, petugas tertidur, dan koleksi buku berdebu. Dosen yang mestinya jadi model literasi malah sibuk mengejar sertifikasi dan laporan kinerja, tapi enggan memperkaya diri dengan membaca. Bahkan, dalam urusan riset pun, banyak skripsi mahasiswa lahir dari kutipan Google Scholar tanpa dibaca tuntas.
Literasi kita rendah bukan karena rakyat bodoh, tapi karena negara dan institusi pendidikan memelihara kemalasan berpikir. Pemerintah meluncurkan Gerakan Literasi Nasional, tapi apa dampaknya di ruang kelas? Siswa disuruh baca 15 menit sebelum pelajaran, tapi tidak ada evaluasi mendalam atas pemahamannya. Di universitas, budaya diskusi dan bedah buku langka, seminar lebih banyak bicara birokrasi daripada isi buku.
Konsekuensi dari darurat membaca ini brutal. Mahasiswa miskin wawasan, daya kritis tumpul, dan prestasi akademik lemah. Mereka tidak siap menghadapi dunia kerja yang menuntut pembelajar mandiri. Dosen pun tertinggal dalam riset dan inovasi. Tak heran kalau publikasi ilmiah kita di panggung internasional begitu memble. Bagaimana mau menulis ilmiah kalau membaca saja malas?
Mungkin yang paling menyedihkan adalah hilangnya budaya bertanya dan berpikir dalam kampus. Mahasiswa lebih suka diam di kelas, karena tidak punya cukup bacaan untuk mengajukan argumen. Dosen pun jarang mendorong debat akademik, karena mungkin takut diskusinya justru mempermalukan dirinya sendiri. Kita terjebak dalam sistem akademik yang lebih menghargai kelengkapan administrasi ketimbang kedalaman intelektual.
Ini bukan sekadar soal malas membaca, ini soal matinya gairah berpikir. Dan ketika gairah berpikir mati, maka bangsa akan jalan di tempat. Kampus yang seharusnya jadi kawah candradimuka pemikiran justru berubah menjadi terminal menunggu gelar dan ijazah. Kita telah gagal menanamkan bahwa membaca bukan kewajiban, tapi kebutuhan.
Jika tidak segera ada perubahan radikal dalam pendekatan pendidikan---baik dari sisi kurikulum, keteladanan dosen, hingga akses bacaan yang relevan---maka kita hanya akan mencetak lulusan yang jago membuat slide tapi gagap membaca buku. Perlu ada revolusi budaya membaca di perguruan tinggi, bukan hanya insentif teknis. Kampus harus kembali menjadi ruang dialektika, bukan sekadar ruang absen dan tugas dadakan.