Studio Ghibli sering dipuja sebagai simbol keaslian dalam dunia animasi. Dengan film-film seperti Spirited Away, My Neighbor Totoro, dan Princess Mononoke, publik kadang menganggap bahwa karya-karya ini lahir dari benak kreatif yang sepenuhnya orisinal. Namun, gagasan bahwa Ghibli adalah "murni" tanpa pengaruh adalah mitos yang perlu diluruskan. Ghibli bukan hasil dari ruang hampa kreatif; justru, ia adalah hasil dari persilangan pengaruh budaya, estetika, dan naratif dari berbagai belahan dunia.
Hayao Miyazaki dan Isao Takahata, dua sosok sentral di balik berdirinya Ghibli pada tahun 1985, memiliki sejarah panjang dalam dunia animasi Jepang. Sebelum mendirikan Ghibli, mereka telah bekerja di Toei Animation, tempat di mana mereka menyerap banyak pelajaran dari pionir-pionir anime sebelumnya, seperti Osamu Tezuka, yang sering disebut sebagai "Bapak Manga." Pengaruh gaya visual Tezuka---mata besar karakter, ekspresi yang kuat, dan narasi humanistik---bisa dilihat secara halus dalam karya awal Miyazaki dan Takahata.
Namun, Ghibli bukan hanya reproduksi dari anime Jepang. Kedua pendirinya juga sangat dipengaruhi oleh karya-karya Barat. Isao Takahata, misalnya, banyak mengagumi animator Prancis Paul Grimault dan sutradara-sutradara New Wave seperti Jean-Luc Godard. Pendekatan Takahata dalam menyampaikan cerita yang bersifat sosial dan politis, seperti dalam Grave of the Fireflies, menunjukkan kekagumannya pada gaya sinema Prancis yang menekankan realisme dan refleksi personal.
Hayao Miyazaki, di sisi lain, menggabungkan berbagai unsur dalam karyanya. Ia pernah menyatakan bahwa ia sangat terinspirasi oleh Frdric Back, animator asal Kanada yang karya-karyanya sarat akan tema lingkungan dan kemanusiaan. Karya Miyazaki seperti Nausica of the Valley of the Wind menunjukkan pengaruh ini dengan jelas, baik dari segi tema maupun gaya visualnya.
Miyazaki juga terinspirasi oleh kunjungannya ke Eropa. Kota tambang di Wales yang ia kunjungi selama pemogokan buruh tahun 1984, misalnya, menginspirasi suasana dan desain dunia dalam Castle in the Sky. Arsitektur dan lanskap Eropa juga kerap muncul dalam film-film Ghibli, menciptakan estetika visual yang terasa global namun tetap memiliki jiwa Jepang.
Dari sisi seni visual, pengaruh dari seniman cetak Jepang Hasui Kawase juga tak bisa diabaikan. Lanskap-lanskap dalam film Ghibli---dari hutan lebat hingga desa-desa kecil yang tenang---menggemakan keindahan dan kedamaian yang menjadi ciri khas karya Hasui. Gaya ini memberi identitas visual yang kuat dan membedakan Ghibli dari studio animasi lainnya.
Selain pengaruh visual dan sinematik, karya sastra juga menjadi pilar penting dalam inspirasi Ghibli. Novel "Earthsea" karya Ursula K. Le Guin, serta kisah-kisah klasik seperti "The Lord of the Rings" karya J.R.R. Tolkien, turut membentuk struktur naratif dan dunia imajinatif dalam film-film Miyazaki. Bahkan Howl's Moving Castle secara langsung diadaptasi dari novel karya penulis Inggris Diana Wynne Jones, meski diolah dengan sentuhan khas Ghibli.
Dengan segala pengaruh ini, jelas bahwa Studio Ghibli bukanlah entitas yang steril dari dunia luar. Justru, kekuatan Ghibli terletak pada kemampuannya untuk menyerap, mengolah, dan memadukan berbagai unsur menjadi sesuatu yang terasa baru namun akrab. Mereka bukan peniru, tapi juga bukan pencipta dari nol. Ghibli adalah contoh terbaik dari kreativitas sebagai proses kolaboratif---baik antara individu maupun antara budaya.
Dalam dunia yang sering memuja orisinalitas sebagai tolok ukur kualitas, penting bagi kita untuk memahami bahwa tidak ada karya besar yang lahir tanpa warisan. Seperti Facebook yang meniru Friendster dan Google yang menyempurnakan ide Yahoo, Studio Ghibli berdiri di atas bahu para raksasa budaya---dari animator Jepang, sineas Prancis, seniman Jepang, hingga penulis fiksi ilmiah dan fantasi Barat.
Memahami hal ini bukan untuk merendahkan Ghibli, melainkan untuk mengapresiasi kejeniusan mereka dalam memilih, menyusun, dan menyulap pengaruh menjadi mahakarya. Dunia Ghibli bukan dunia yang murni, tetapi justru karena keberagamannya, ia menjadi lebih hidup, lebih dalam, dan lebih berarti. Jadi, ketika kita menonton Spirited Away atau Totoro, kita tidak hanya menyaksikan karya Jepang, tetapi juga potret lintas budaya yang dirajut dengan tangan yang penuh cinta dan imajinasi.