Kasus penipuan yang melibatkan seorang pengusaha pentol di Sidoarjo, Pamuji, menyentil nalar publik dengan cara yang ironis. Betapa tidak, dari sebuah usaha kuliner sederhana yang biasanya diasosiasikan dengan jajanan murah meriah, justru muncul praktik investasi bodong yang merugikan masyarakat hingga Rp8 miliar. Ini bukan lagi soal pentol, tapi tentang bagaimana iming-iming keuntungan cepat bisa menelan akal sehat.
Skema yang ditawarkan terkesan "manis": janji 10 persen keuntungan per bulan plus pengembalian modal dalam satu tahun. Kombinasi yang terdengar terlalu indah untuk dunia nyata, namun ternyata cukup menggoda bagi setidaknya 150 orang yang akhirnya menjadi korban. Kepercayaan yang dibangun dari tampilan luar usaha yang berkembang, lengkap dengan banyak cabang, menjadi modal utama tersangka untuk menarik dana.
Namun perlu dicatat, keuntungan 10 persen per bulan dalam usaha kuliner sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil. Dalam bisnis makanan cepat saji seperti pentol, margin keuntungan bisa cukup tinggi, terutama jika volume penjualan besar, bahan baku murah, dan lokasi strategis. Dengan manajemen produksi yang efisien dan strategi pemasaran yang baik, angka tersebut masih dalam batas wajar. Artinya, skema investasi ini seharusnya bisa berjalan sehat jika dikelola dengan benar dan transparan, tanpa embel-embel pengembalian modal yang terburu-buru.
Padahal, bila dikelola dengan benar, usaha kuliner seperti ini justru punya potensi besar untuk berkembang secara sehat. Kuncinya ada pada manajemen produksi, manajemen keuangan, dan pola pengembalian yang realistis. Modal seharusnya tidak dikembalikan dalam bentuk cicilan bulanan, melainkan diputar untuk memperluas cabang dan memperkuat operasional. Yang bisa dibagikan secara rutin adalah keuntungan bersih, bukan janji manis yang tak sesuai dengan kenyataan pasar.
Menariknya, pola seperti ini sebenarnya mirip dengan skema IPO (Initial Public Offering) di pasar modal, di mana perusahaan mencari modal dengan menjual saham kepada publik. Para investor tidak menerima pengembalian modal bulanan, melainkan berharap pada dividen tahunan atau kenaikan nilai saham. Namun yang membedakan adalah legitimasi legal dan pengawasan pasar. Ironisnya, tidak sedikit IPO yang pada akhirnya juga merugikan investor karena manipulasi, mismanajemen, atau bahkan penipuan yang dibungkus dalam kerangka hukum kapitalisme modern. Mereka tidak ditangkap, karena berlindung di balik sistem yang melegalkan spekulasi dan resiko atas nama bisnis.
Fenomena seperti ini bukan yang pertama, dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir. Polanya berulang: pelaku menjanjikan profit besar dalam waktu singkat, meyakinkan dengan pencitraan kesuksesan, dan pada akhirnya tak sanggup memenuhi janji. Yang tertinggal adalah korban-korban dengan tabungan yang ludes, kepercayaan yang hancur, dan pelajaran pahit yang dibayar mahal.
Pamuji kini harus menghadapi jerat hukum atas dugaan penipuan dan penggelapan. Namun, kasus ini menyisakan pekerjaan rumah yang lebih besar: edukasi finansial bagi masyarakat. Kita harus berhenti percaya pada jalan pintas untuk kaya. Investasi yang sehat selalu datang dengan transparansi, risiko yang wajar, dan tidak pernah menjanjikan hasil fantastis tanpa logika bisnis yang jelas.
Kasus "pentol berujung penjara" ini semestinya menjadi momentum untuk menumbuhkan kewaspadaan. Karena dalam dunia investasi, yang manis belum tentu aman. Dan janji yang terlalu muluk sering kali hanyalah bumbu penipuan belaka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI