Dalam dunia akademik, ilmu pengetahuan sering dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran yang sah. Namun, banyak tantangan besar yang kita hadapi saat ini---seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketahanan pangan---tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan ilmiah konvensional. Perlu ada cara berpikir yang lebih luas, yang bisa menggabungkan ilmu pengetahuan modern dengan pengalaman dan kearifan masyarakat adat. Inilah yang disebut filsafat sains transdisipliner.
Mengapa Filsafat Sains Transdisipliner Penting?
Selama ini, ilmu pengetahuan modern cenderung membedakan antara "pengetahuan ilmiah" dan "pengetahuan nonilmiah." Namun, dalam banyak kasus, solusi yang efektif justru muncul dari kombinasi keduanya. Misalnya, dalam upaya melindungi hutan dan satwa liar, tidak cukup hanya mengandalkan penelitian ekologi. Kita juga perlu memahami bagaimana masyarakat adat mengelola hutan secara berkelanjutan selama ratusan tahun.
Masyarakat adat memiliki cara unik dalam memahami dan merawat alam. Lewat praktik seperti bertani, berburu, dan mengelola hutan, mereka telah mengembangkan strategi yang terbukti mampu menjaga keseimbangan lingkungan. Sayangnya, dalam banyak kebijakan dan penelitian ilmiah, pengetahuan ini sering dianggap kurang valid dibandingkan dengan hasil riset laboratorium atau eksperimen ilmiah.
Ilmu Pengetahuan dan Kearifan Lokal: Harus Saling Melengkapi
Salah satu masalah terbesar dalam mengakui peran masyarakat adat adalah sistem akademik yang kurang memberi ruang bagi mereka dalam pengambilan keputusan ilmiah. Contohnya, banyak proyek konservasi yang justru merugikan masyarakat lokal karena keputusan dibuat tanpa mempertimbangkan cara hidup mereka.
Misalnya, beberapa kebijakan pelestarian hutan melarang masyarakat adat berburu atau bertani di wilayah mereka sendiri. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa metode bertani tradisional dan teknik berburu mereka sering kali lebih berkelanjutan dibandingkan dengan metode modern seperti perkebunan monokultur atau kawasan lindung yang terlalu ketat.
Oleh karena itu, yang kita butuhkan bukan hanya ilmu pengetahuan akademik, tetapi juga pendekatan yang menggabungkan keahlian lokal dengan metode ilmiah untuk menciptakan solusi yang lebih baik bagi lingkungan dan masyarakat.
Mengatasi Hambatan dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam filsafat sains, ada perdebatan lama mengenai bagaimana membedakan antara ilmu pengetahuan dan bukan ilmu pengetahuan. Beberapa ahli berpendapat bahwa hanya metode berbasis eksperimen dan pengukuran yang bisa dianggap sebagai sains sejati. Namun, jika kita terus berpikir seperti ini, kita akan mengabaikan banyak bentuk pengetahuan yang sudah terbukti berguna.
Dalam banyak proyek penelitian yang melibatkan masyarakat adat, sering terjadi perbedaan cara pandang antara akademisi dan masyarakat lokal. Akademisi cenderung menggunakan data kuantitatif, sementara masyarakat adat lebih mengandalkan pengalaman turun-temurun dan observasi jangka panjang. Jika kita tetap terpaku pada aturan ilmiah yang kaku, maka kontribusi masyarakat adat akan selalu dianggap lebih rendah dibandingkan dengan penelitian akademik.
Filsafat sains transdisipliner menawarkan pendekatan baru: bukan sekadar mengakui keberadaan pengetahuan lokal, tetapi juga menjadikannya bagian dari proses ilmiah secara sejajar. Ini adalah langkah penting untuk menghasilkan solusi yang lebih relevan dengan kebutuhan nyata.
Manfaat dan Tantangan Pendekatan Transdisipliner
Pendekatan ini memiliki banyak manfaat, antara lain:
- Mengatasi Kesenjangan Pengetahuan -- Dengan membuka ruang bagi berbagai bentuk ilmu, kita bisa menghindari bias akademik yang sering mengabaikan pengalaman lokal.
- Solusi yang Lebih Kontekstual -- Ilmu akademik cenderung mencari jawaban yang bersifat umum, sedangkan masyarakat adat memiliki solusi yang lebih sesuai dengan kondisi spesifik di wilayah mereka.
- Keberlanjutan Sosial dan Ekologis -- Dengan menggabungkan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal, kita bisa menciptakan kebijakan yang lebih berkelanjutan untuk lingkungan dan masyarakat.