Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Epistemologi dalam Cengkeraman Teori: Sains sebagai Konstruksi Kekuasaan

18 Maret 2025   17:45 Diperbarui: 18 Maret 2025   17:45 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sains dan teori ilmiah. (Sumber: Freepik.com)

Mari kita mulai dengan pertanyaan mendasar: apakah teori ilmiah merupakan hasil dari seleksi murni berdasarkan nilai epistemik, atau justru kita sedang berbicara tentang sebuah oligarki intelektual yang membentuk dirinya sendiri? Ini bukan sekadar debat akademik, tapi medan pertarungan ideologis di mana sains, yang seharusnya menjadi alat pembebasan pikiran, justru sering menjadi narasi hegemonik yang membatasi kemungkinan-kemungkinan lain.

Ilmu Pengetahuan dan Ilusi Kebebasan Epistemik

Dalam filsafat sains klasik, teori ilmiah dikatakan dipilih berdasarkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, daya prediksi, dan akurasi. Ini terdengar seperti meritokrasi epistemik, bukan? Bahwa teori terbaik akan bertahan karena nilai-nilai ini bersifat objektif dan independen. Tapi di sinilah ilusi itu bermula. Kita menganggap bahwa sains bekerja seperti seleksi alam Darwinian---hanya teori yang "paling cocok" yang akan bertahan. Padahal, jika kita mengambil analogi dari biologi sendiri, konsep niche construction menunjukkan bahwa organisme tidak hanya dipilih oleh lingkungannya, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kemudian menentukan seleksi di masa depan.

Sains pun demikian. Teori yang diterima komunitas ilmiah tidak hanya "terpilih" berdasarkan standar epistemik yang ada, tetapi juga membentuk standar itu sendiri. Dalam kata lain, teori ilmiah adalah arsitek dari kriteria yang menilainya sendiri. Ini adalah bentuk autopoiesis epistemik---sains mereproduksi dirinya sendiri dalam cara yang memastikan status quo tetap terjaga.

Hegemoni Kognitif dan Kemapanan Ilmu

Mari kita ambil contoh sejarah: kontroversi Mendelisme versus Biometri di awal abad ke-20. Para ilmuwan saat itu lebih menyukai teori yang selaras dengan pendekatan matematis dan generalitas luas. Tapi apakah preferensi ini lahir dari "objektivitas ilmiah", atau karena komunitas ilmiah sudah membangun paradigma yang mengutamakan presisi matematis sebagai standar kebenaran? Ketika satu teori diterima, ia memperkuat nilai-nilai epistemik yang menguntungkannya, yang kemudian menciptakan bias struktural terhadap teori-teori baru yang tidak sesuai dengan kriteria ini.

Situasi ini mirip dengan politik kekuasaan. Ketika sebuah rezim berkuasa, ia tidak hanya mengontrol kebijakan, tetapi juga menentukan standar apa yang dianggap sebagai kebijakan yang baik. Sama seperti ketika teori Newton mendominasi selama berabad-abad, bukan hanya karena keunggulannya, tetapi karena komunitas ilmiah membentuk epistemologi yang menjadikan Newtonianisme sebagai patokan mutlak bagi kebenaran.

Dan kita tahu bagaimana nasib Galileo ketika mencoba menggoyang fondasi dogma geosentris. Resistensi bukan hanya karena bukti yang kurang kuat, tetapi karena ia berhadapan dengan struktur epistemik yang telah mapan.

Ketika Sains Menjadi Dogma Baru

Jika kita memahami pemilihan teori sebagai konstruksi relung epistemik, maka kesimpulannya jelas: perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh bukti terbaik, tetapi oleh konfigurasi kekuasaan epistemik yang mengontrol apa yang layak dianggap sebagai "bukti terbaik".

Di sini kita masuk ke paradoks besar dalam filsafat sains. Kuhn, dengan konsep paradigm shift, sudah membongkar mitos bahwa sains berkembang secara linear menuju kebenaran absolut. Namun, apa yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa komunitas ilmiah sering kali tidak menyadari bahwa mereka terjebak dalam relung yang mereka ciptakan sendiri.

Jadi, apakah kita masih bisa berbicara tentang "kemajuan" dalam sains? Atau justru sains adalah lingkaran rekursif yang terus mereplikasi dirinya sendiri dengan narasi baru, tetapi dalam struktur epistemik yang sama? Jika benar bahwa teori membentuk standar epistemiknya sendiri, maka kita harus bertanya: sains melayani siapa? Kebenaran, atau kepentingannya sendiri?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun