Ketika generative artificial intelligence (AI) seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, dan Deepseek mulai merangsek ke dunia pendidikan tinggi, kita dihadapkan pada persimpangan jalan. Haruskah kita merangkulnya dengan penuh optimisme atau justru menarik rem darurat, menganggapnya sebagai ancaman yang perlu dibatasi dengan tegas? Karl de Fine Licht (2024) dalam artikelnya "Generative Artificial Intelligence in Higher Education: Why the 'Banning Approach' to Student use is Sometimes Morally Justified" mengajukan argumen yang menarik: dalam beberapa kondisi, pelarangan AI generatif bagi mahasiswa bisa jadi merupakan keputusan yang tepat secara moral. Namun, mari kita bedah lebih dalam, apakah argumen ini benar-benar sekuat yang terlihat di permukaan?
Benarkah AI Mengancam Kualitas Belajar Mahasiswa?
Salah satu alasan utama pelarangan AI generatif di perguruan tinggi adalah kekhawatiran bahwa mahasiswa akan menjadi terlalu bergantung padanya, yang pada akhirnya dapat merusak proses pembelajaran mereka. Alih-alih belajar memahami materi secara mendalam, mahasiswa mungkin hanya mencari jawaban instan dari AI. Ya, kita tidak bisa menutup mata bahwa kemungkinan ini ada. Tapi bukankah masalah serupa juga pernah muncul saat internet mulai digunakan di sekolah-sekolah? Bukankah dulu kita juga takut bahwa Wikipedia dan Google akan merusak otak kritis generasi muda?
Faktanya, alih-alih menjadi lebih bodoh, generasi digital justru semakin adaptif. Mereka mampu memilah informasi dan menggunakan teknologi untuk memperdalam pengetahuan. Jadi, mengapa kali ini kita bersikap lebih skeptis terhadap AI generatif? Mungkinkah ini hanya bentuk lain dari ketakutan kita terhadap hal baru, sebuah nostalgia masa lalu di mana pembelajaran selalu dianggap murni ketika dilakukan tanpa bantuan teknologi?
Isu Privasi dan Keamanan Data: Ancaman atau Pembelajaran?
Argumen lain yang diangkat adalah mengenai risiko privasi. AI generatif mengumpulkan data, dan mahasiswa sering kali tidak memahami konsekuensinya. Benar, masalah ini tidak boleh dianggap remeh. Namun, melarang penggunaan AI tidak akan menyelesaikan masalah privasi data. Sebaliknya, ini adalah kesempatan emas bagi institusi pendidikan untuk mengajarkan literasi digital dan kesadaran akan privasi. Bukankah lebih baik mengajarkan mahasiswa cara aman menggunakan AI daripada melarangnya sama sekali?
Dampak Lingkungan: Masalah yang Lebih Besar dari AI
Artikel tersebut juga menyebutkan bahwa AI generatif mengonsumsi energi besar, berdampak pada lingkungan. Ini adalah kritik yang valid, tetapi apakah larangan penggunaan AI oleh mahasiswa akan benar-benar memberi dampak signifikan terhadap masalah lingkungan global? Sementara itu, universitas-universitas besar terus menggunakan server besar untuk penelitian, perusahaan teknologi tetap beroperasi tanpa batas, dan masyarakat luas masih berkontribusi besar terhadap jejak karbon mereka. Mengapa mahasiswa dijadikan kambing hitam atas isu ini? Apakah ini sekadar langkah simbolis tanpa dampak nyata?
Membangun Batasan, Bukan Tembok Penghalang
Solusi bukanlah melarang, tetapi mengatur. Alih-alih mengatakan "tidak boleh", universitas seharusnya mengatakan "boleh, tapi dengan syarat". Misalnya, penggunaan AI generatif bisa diizinkan dalam konteks tertentu: membantu penelitian, mendukung pembelajaran mandiri, atau sebagai alat bantu kreatif dalam proyek-proyek mahasiswa. Namun, dalam ujian atau tugas-tugas tertentu, aturan ketat bisa diberlakukan untuk memastikan keaslian karya mahasiswa.
Lagipula, di dunia kerja, mahasiswa akan menghadapi AI generatif sebagai alat yang sah dalam banyak profesi. Mengapa kita harus melindungi mereka dari kenyataan ini? Bukankah lebih baik mereka belajar sekarang, dalam lingkungan yang terkontrol dan didampingi oleh dosen, daripada nanti ketika mereka sudah bekerja dan harus belajar sendiri tanpa pengawasan?
Provokasi untuk Berpikir Kritis
Mungkin ini saatnya kita bertanya: apakah pelarangan ini benar-benar demi kebaikan mahasiswa atau hanya upaya untuk mempertahankan status quo dalam pendidikan tinggi? Mungkinkah ini karena para dosen dan institusi belum siap menghadapi perubahan besar dalam cara mengajar dan menilai mahasiswa? Ketakutan akan AI generatif mungkin bukanlah tentang kemampuan mahasiswa, tetapi lebih kepada ketidakmampuan sistem pendidikan kita untuk beradaptasi.
Tantangan atau Kesempatan?
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa teknologi tidak bisa dihindari. Larangan hanya akan menciptakan resistensi dan mungkin mendorong penggunaan AI secara diam-diam dan tanpa kontrol. Sebaliknya, penggunaan AI generatif di pendidikan tinggi, dengan syarat dan ketentuan yang jelas, akan memberi kita kesempatan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga bijak dan kritis dalam menghadapinya.
Jadi, mari kita berhenti takut. Mari kita tantang mahasiswa untuk menggunakan AI generatif secara bertanggung jawab. Dan lebih penting lagi, mari kita tantang diri kita sendiri untuk beradaptasi dan memberikan mereka arahan yang tepat. Karena pada akhirnya, bukan AI yang akan menentukan masa depan pendidikan kita, tetapi bagaimana kita menggunakannya dengan bijak dan cerdas.