Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul "Does Good Corporate Governance Mediate Risk Management Implementation and Financial Performance of Indonesian Commercial Banks?" yang dipublikasikan di Journal of Southwest Jiaotong University pada Juni 2021, penulis Haryetti dan Andewi Rokhmawati memaparkan bagaimana tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dapat menjadi jembatan antara implementasi manajemen risiko dan peningkatan kinerja keuangan bank di Indonesia. Namun, pertanyaannya, benarkah GCG ini benar-benar diimplementasikan dengan tulus atau hanya sekadar formalitas belaka untuk memenuhi regulasi?
Artikel ini menggunakan data dari 21 bank yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2015-2019. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa manajemen risiko memiliki pengaruh positif terhadap GCG, tetapi tidak langsung berdampak signifikan pada kinerja keuangan bank. Sebaliknya, GCG memiliki pengaruh positif pada kinerja keuangan, dan berperan sebagai mediator antara manajemen risiko dan kinerja keuangan bank.
Pertanyaan Besar: Mengapa Manajemen Risiko Tidak Berpengaruh Langsung pada Kinerja Keuangan?
Di sinilah letak masalahnya. Mengapa manajemen risiko, yang seharusnya menjadi fondasi untuk menjaga stabilitas keuangan bank, tidak memberikan dampak langsung pada kinerja keuangan? Bukankah ini menunjukkan adanya "gap" antara implementasi di atas kertas dan realitas di lapangan? Apakah mungkin, bank-bank ini hanya sekadar memenuhi persyaratan regulasi tanpa benar-benar menginternalisasi praktik manajemen risiko yang efektif?
Fakta bahwa GCG justru menjadi mediator yang menghubungkan manajemen risiko dengan kinerja keuangan menimbulkan tanda tanya besar. Jika tata kelola perusahaan ini begitu krusial, mengapa banyak bank di Indonesia masih tertinggal dalam peringkat bank terbaik di Asia? Mengapa bank-bank Indonesia tidak mampu menyaingi bank-bank dari Singapura, Korea Selatan, atau bahkan Filipina dalam hal implementasi GCG yang baik?
Apakah Good Corporate Governance di Indonesia Hanya Sekadar Label?
Regulasi sudah jelas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Peraturan No.18/POJK.03/2016Â mewajibkan bank untuk menerapkan manajemen risiko dengan baik. Namun, jika dilihat dari hasil penelitian ini, banyak bank hanya memberikan informasi secukupnya mengenai praktik manajemen risiko, khususnya pada aspek risiko non-keuangan seperti risiko teknologi. Padahal, di era digital ini, risiko teknologi justru menjadi ancaman utama bagi stabilitas bank.
Banyak kasus peretasan, pencurian data nasabah, hingga penipuan oleh oknum internal bank menunjukkan bahwa praktik GCG masih jauh dari harapan. Informasi mengenai bagaimana bank menghadapi risiko ini tidak tersampaikan dengan transparan. Jika demikian, bagaimana mungkin publik, terutama nasabah dan investor, bisa menaruh kepercayaan penuh kepada bank-bank ini?
Kepatuhan atau Kepalsuan?
Indeks GCG dalam penelitian ini mengukur empat aspek utama: struktur kepemilikan, struktur dewan direksi, transparansi dan pengungkapan, serta komite audit. Namun, skor tinggi dalam indeks ini tidak serta-merta mencerminkan kualitas GCG yang sesungguhnya. Bukankah mungkin saja bank-bank ini hanya memoles laporan tahunan mereka agar terlihat baik di atas kertas tanpa adanya implementasi nyata di lapangan?
Praktik "window dressing" bukanlah hal baru dalam dunia bisnis. Bank mungkin saja memberikan informasi normatif dalam laporan tahunan mereka hanya untuk memenuhi persyaratan OJK tanpa benar-benar menjalankan prinsip-prinsip GCG. Ketika auditor datang, segalanya tampak baik-baik saja. Namun, begitu masalah muncul, barulah terlihat bagaimana rapuhnya fondasi GCG di banyak bank kita.
Risiko Manajemen Risiko: Ketika Regulasi Tak Diikuti dengan Implementasi Nyata
Ironisnya, artikel ini juga menunjukkan bahwa bank-bank di Indonesia masih enggan membuka informasi secara transparan mengenai bagaimana mereka mengelola risiko. Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Apakah bank-bank ini sebenarnya tidak memiliki sistem manajemen risiko yang memadai, ataukah mereka takut mengungkapkan kelemahan mereka kepada publik?