Hari ini, saya kembali merasakan nostalgia masa-masa berburu buku murah di pasar buku bekas. Bukan untuk saya sendiri, tapi untuk menemani anak saya yang sedang kuliah semester dua di Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang. Ia memang pecinta buku, terutama novel, jadi Pasar Buku Wilis menjadi destinasi wajib bagi kami.
Pagi ini, kami berangkat dengan semangat, meskipun saya sudah menduga bahwa perjalanan ini akan berujung pada kantong yang lebih tipis. Tapi tak apa, karena saya paham betul bahwa buku bukan sekadar barang, melainkan investasi pikiran dan jiwa.
Memasuki Surga Buku Bekas
Begitu sampai di Jalan Wilis Malang, aroma khas buku lama langsung menyambut. Bau kertas yang sudah melewati berbagai tangan, bercampur dengan debu yang menempel di sampul-sampulnya. Bagi sebagian orang, mungkin ini sekadar pasar kecil yang biasa saja, tapi bagi pecinta buku, ini adalah harta karun yang tak ternilai.
Kami mulai menyusuri kios demi kios. Beberapa pemilik kios sudah terlihat akrab dengan pembeli tetap mereka. Ada yang duduk santai sambil membaca, ada juga yang sibuk menata rak-rak yang seolah tidak pernah cukup menampung koleksi mereka. Suasana di sini sederhana, tapi hangat. Tidak ada nuansa komersial yang berlebihan seperti di toko buku modern. Justru, yang ada adalah interaksi yang lebih personal antara penjual dan pembeli.
Berburu Harta Karun Sastra
Anak saya langsung fokus mencari novel-novel lama. "Yah, lihat ini! Buku Marga TÂ yang sudah susah dicari di toko!" serunya sambil mengangkat sebuah buku yang sampulnya mulai menguning. Saya tersenyum melihat antusiasmenya. Tidak butuh waktu lama sebelum tangannya penuh dengan novel dari berbagai era. Ada juga beberapa buku Tere Liye edisi lama yang sudah tidak dicetak lagi.
Salah satu hal menarik di pasar buku bekas adalah kejutan yang datang tanpa diduga. Kami menemukan beberapa buku yang sudah bertahun-tahun tidak terlihat di rak toko besar. Novel-novel yang mungkin pernah menjadi favorit seseorang di masa lalu, kini menunggu pemilik baru yang akan kembali membacanya dengan penuh semangat.
"Yah, ini stok lama tapi masih segel!" katanya sambil menunjuk dua buku yang terlihat seperti baru. Penjualnya tersenyum dan menjelaskan bahwa buku-buku itu adalah sisa stok lama yang masih asli, bukan bajakan. Harganya? Jauh lebih murah daripada harga normal di toko buku besar.
Negosiasi yang Menyenangkan
Salah satu bagian terbaik dari berburu buku bekas adalah kesempatan untuk menawar harga. Awalnya, saya membiarkan anak saya mencoba menawar sendiri, tapi akhirnya saya ikut membantu juga. Kami berhasil mendapatkan total 8 buku---6 buku lama dan 2 buku baru stok lama---dengan harga Rp150 ribu. Kalau dibandingkan dengan harga toko buku modern, jumlah segitu mungkin hanya cukup untuk membeli satu atau dua buku saja.
Penjualnya pun ramah, bahkan memberikan beberapa rekomendasi buku lain yang mungkin cocok untuk anak saya. "Kalau suka novel lama, minggu depan mungkin ada tambahan stok yang masuk," katanya. Informasi seperti ini tentu sangat berharga bagi pemburu buku.
Menutup Hari dengan Puas
Setelah puas berkeliling dan berbelanja, kami pun pulang dengan kantong plastik penuh buku. Anak saya tersenyum lebar, matanya berbinar seperti baru saja menemukan harta karun. "Nanti kalau ada waktu, kita ke sini lagi ya, Pak?" tanyanya penuh harap. Saya mengangguk tanpa ragu. Saya tahu perjalanan ini tidak akan menjadi yang terakhir.