Francis Fukuyama dalam teorinya tentang State Capture menggambarkan bagaimana elite lama mempertahankan dominasi mereka dengan mengendalikan negara melalui figur-figur baru yang tampak progresif dan modern. Dalam konteks Indonesia saat ini, teori ini bukan sekadar wacana akademik, tetapi sebuah realitas politik yang semakin nyata. Dengan menempatkan generasi muda (Gen X) dalam posisi strategis pemerintahan, publik disuguhkan ilusi regenerasi kepemimpinan, padahal kendali tetap berada di tangan kekuatan lama. Data kabinet Prabowo Subianto yang menunjukkan 29% menterinya berusia di bawah 50 tahun justru memperkuat argumentasi ini: State Capture sedang dijalankan dengan sangat halus dan efektif.
Wajah Muda, Sistem Lama
Munculnya figur-figur muda dalam kabinet tentu terlihat segar dan menjanjikan. Nama-nama seperti Dito Ariotedjo (34 tahun), Agus Harimurti Yudhoyono (46 tahun), dan Meutya Hafid (46 tahun) menandakan adanya "pembaruan" dalam struktur pemerintahan. Namun, apakah benar ini sebuah revolusi kepemimpinan, atau hanya pergantian kulit untuk menutupi kenyataan bahwa sistem lama tetap bercokol?
Sejarah politik menunjukkan bahwa elite lama memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan mereka dengan berbagai cara. Salah satu metode paling efektif adalah menciptakan proxy leaders---pemimpin muda yang terlihat independen tetapi sesungguhnya masih bergantung pada patron lama. Dalam konteks kabinet Prabowo, banyak dari figur-figur muda ini merupakan hasil dari dinasti politik, perpanjangan tangan kekuatan oligarki, atau memiliki keterkaitan erat dengan aktor-aktor lama yang sudah mengakar di pemerintahan.
Data yang Mengonfirmasi Teori
Dengan 29% dari total menteri berusia di bawah 50 tahun, ada dua cara untuk menafsirkan data ini. Pertama, ini bisa dianggap sebagai langkah progresif yang menunjukkan bahwa pemerintah mulai memberi ruang bagi generasi muda untuk memimpin. Kedua, ini adalah bukti bahwa elite lama menyusun strategi baru dengan menampilkan wajah-wajah segar untuk mengelabui publik agar percaya bahwa perubahan sedang terjadi.
Jika kita melihat latar belakang para menteri muda ini, kita menemukan pola yang mencurigakan. Banyak di antara mereka yang berasal dari lingkaran kekuasaan lama---baik sebagai anak dari tokoh politik senior, kader partai yang sudah lama eksis, atau bagian dari jaringan bisnis elite. Dengan kata lain, regenerasi yang terjadi bukanlah regenerasi kepemimpinan yang sesungguhnya, melainkan sekadar rebranding untuk mempertahankan status quo.
Ilusi Demokrasi, Realitas Oligarki
Dalam demokrasi yang sehat, peremajaan kepemimpinan seharusnya diiringi dengan perubahan kebijakan yang mendasar. Namun, ketika kita melihat kebijakan yang dihasilkan oleh kabinet ini, tidak ada perbedaan signifikan dengan pemerintahan sebelumnya. Struktur ekonomi masih didominasi oleh konglomerasi besar, keputusan politik masih berputar di antara kelompok elite, dan kebijakan strategis tetap dikendalikan oleh mereka yang sudah lama menguasai sistem.
State Capture terjadi ketika aktor-aktor di luar pemerintah memiliki pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara. Dengan kata lain, meskipun kabinet Prabowo memiliki wajah-wajah baru, mereka tetap bergerak dalam kerangka yang ditentukan oleh elite lama. Figur muda ini tidak lebih dari alat untuk menstabilkan kekuasaan oligarki dengan cara yang lebih halus dan diterima publik.
Revolusi Palsu
Dengan melihat data kabinet Prabowo Subianto dan membandingkannya dengan teori State Capture dari Fukuyama, jelas bahwa yang terjadi di Indonesia bukanlah regenerasi kepemimpinan yang sebenarnya, melainkan manipulasi politik yang canggih. Dengan menampilkan generasi muda di pemerintahan, publik dipaksa untuk percaya bahwa perubahan sedang terjadi, padahal di balik layar, kendali tetap berada di tangan elite lama.
Realitas ini membuktikan bahwa demokrasi Indonesia masih terjebak dalam siklus lama: kekuasaan tidak berpindah tangan, hanya wajahnya yang berganti. Generasi muda yang benar-benar ingin membawa perubahan harus menyadari jebakan ini dan mencari cara untuk benar-benar mendobrak sistem, bukan sekadar menjadi boneka dari kekuatan lama yang tetap bercokol. Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan drama politik yang sama, dengan aktor yang berbeda, tetapi naskah yang tetap ditulis oleh mereka yang berada di balik layar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI