Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Korupsi di Indonesia, Masalah Sistemik yang Semakin Mengakar

6 Februari 2025   07:30 Diperbarui: 6 Februari 2025   06:56 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kasus korupsi yang sistemik. (Sumber: Freepik.com)

Korupsi di Indonesia bukan sekadar tindakan individual yang dilakukan oleh segelintir pejabat. Masalah ini telah menjadi sistemik, mengakar dalam berbagai lini pemerintahan dan sektor ekonomi. Data terbaru menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi semakin mengalami tantangan besar, baik dari segi pencegahan maupun penindakan hukum.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparency International pada 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-115 dari 180 negara dengan skor 34 dari 100. Angka ini tidak hanya menunjukkan stagnasi, tetapi juga menegaskan bahwa Indonesia masih terjebak dalam korupsi yang merajalela. Dibandingkan tahun 2022, skor tersebut mengalami penurunan dari 38, sebuah indikasi bahwa kepercayaan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi semakin melemah.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi juga mengalami tantangan serius. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa jumlah kasus yang ditangani KPK pada 2023 hanya mencapai 48 kasus dengan 147 tersangka. Jika dibandingkan dengan tahun 2018 sebelum revisi Undang-Undang KPK, jumlah kasus yang ditangani masih mencapai 57 kasus dengan 261 tersangka. Penurunan ini bukan sekadar angka, tetapi refleksi dari lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor.

Kasus-kasus korupsi besar yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir semakin membuktikan bahwa praktik korupsi telah meluas ke berbagai sektor strategis. Salah satu kasus yang paling menyorot perhatian publik adalah skandal ekspor minyak goreng yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan. Kasus ini menyebabkan kerugian negara hingga Rp6,47 triliun. Selain itu, pada Januari 2025, Kejaksaan Agung menetapkan lima perusahaan tambang timah sebagai tersangka dalam kasus penambangan ilegal yang terkait dengan PT Timah. Praktik korupsi dalam industri pertambangan bukan hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat sekitar.

Toleransi masyarakat terhadap korupsi juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 mengalami penurunan dari 3,92 menjadi 3,85. Penurunan ini menandakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap pentingnya integritas dan transparansi semakin melemah. Masyarakat cenderung lebih permisif terhadap korupsi yang terjadi di sekitar mereka, terutama dalam konteks pelayanan publik dan perizinan usaha.

Upaya pemerintah dalam mencegah korupsi juga menghadapi hambatan struktural. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) telah meluncurkan 15 aksi pencegahan untuk periode 2025-2026 yang mencakup perbaikan tata niaga, pengelolaan keuangan negara, serta penegakan hukum. Meski demikian, implementasi dari aksi-aksi ini masih menghadapi tantangan besar, terutama dari sisi komitmen politik dan koordinasi antarlembaga.

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara membuktikan bahwa sistem hukum di Indonesia masih belum cukup kuat untuk menindak tegas pelaku korupsi. Beberapa kasus besar, seperti skandal e-KTP dan Jiwasraya, menunjukkan bahwa korupsi telah melibatkan jaringan luas yang mencakup pejabat, politisi, hingga pelaku usaha. Hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku sering kali tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang mereka timbulkan. Banyak di antara mereka yang mendapatkan remisi atau bahkan kembali menduduki posisi strategis setelah menjalani hukuman.

Keberadaan Undang-Undang KPK yang telah direvisi pada 2019 juga memberikan dampak negatif terhadap independensi lembaga antirasuah tersebut. Salah satu dampak nyata adalah melemahnya fungsi penyadapan, yang selama ini menjadi senjata utama KPK dalam mengungkap praktik korupsi tingkat tinggi. Selain itu, penunjukan pimpinan KPK yang berasal dari unsur kepolisian dan kejaksaan menimbulkan polemik terkait independensi lembaga tersebut dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan elite pemerintahan.

Salah satu indikasi semakin lemahnya pemberantasan korupsi adalah meningkatnya kasus suap dalam sektor penegakan hukum. Kasus yang melibatkan oknum aparat kepolisian yang meminta uang tebusan kepada warga negara asing yang menghadiri festival musik di Jakarta pada Desember 2024 menjadi bukti bahwa praktik korupsi masih mengakar di tubuh aparat penegak hukum. Kejadian seperti ini tidak hanya mencoreng citra kepolisian, tetapi juga menunjukkan bahwa hukum sering kali diperdagangkan kepada mereka yang mampu membayar lebih.

Kasus suap di lingkungan peradilan juga semakin marak. Pada Agustus 2023, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) memberhentikan dengan tidak hormat hakim DS dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat setelah terbukti menerima suap sebesar Rp300 juta dalam perkara korupsi yang melibatkan mantan Wali Kota Kediri. Tidak hanya itu, tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya---Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo---diduga menerima suap sebesar Rp3,5 miliar dalam kasus pembunuhan yang ditangani. Kasus-kasus ini semakin menguatkan pandangan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan terhadap praktik korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun