Tampaknya pendapat Fathul Wahid tentang desakralisasi profesor dan tanggung jawab intelektual publik, sebagaimana dimuat dalam Kompas.id (25 Juli 2024), memang mendesak untuk direnungkan.
Akan tetapi, harus diakui bahwa narasinya menyajikan simpul masalah yang terkesan terlalu idealistis dan mungkin sedikit berlebihan dalam menggambarkan situasi aktual.Â
Apakah benar kehadiran gelar dan status sosial semata-mata telah mengikis nilai intelektualisme hingga titik nadir keefektifannya dalam masyarakat?Â
Seringkali realitasnya tidak seragam dan kompleks, tidak hitam putih seperti yang digambarkan.
Selanjutnya, Wahid mengutarakan bahwa surat edaran tentang penghapusan penulisan gelar di Universitas Islam Indonesia dapat membantu mengurangi praktik 'jual-beli' status akademik.Â
Namun, apakah ini merupakan solusi nyata atau hanya sebuah langkah simbolis yang menarik perhatian publik tanpa efek substantif jangka panjang?Â
Terkadang, tindakan seperti ini bisa jadi lebih bersifat peragaan---sebuah 'pencitraan' di mata publik---dibandingkan dengan perubahan struktural yang mendalam dalam sistem pendidikan tinggi.
Di sisi lain, ada aspek-aspek lain yang terabaikan dalam diskursus Wahid.Â
Meskipun dia menyerukan kembali kepada semangat kolegialitas dan tanggung jawab publik, terdapat minimnya pembahasan tentang bagaimana struktur kebijakan pendidikan tinggi dan faktor eksternal seperti tekanan pasar dan kebijakan pemerintah berpengaruh terhadap dinamika ini.Â
Intelektual publik memang harus aktif dalam debat kebijakan dan pemikiran publik, tetapi mereka juga beroperasi dalam lingkungan yang tidak sepenuhnya berada dalam kontrol mereka.Â