Mohon tunggu...
Syahid Arsjad
Syahid Arsjad Mohon Tunggu... Dosen - Penikmat Diskusi

penikmat kehidupan penuh warna, suka membaca, diskusi dan menulis. follow di twitter : @syahid_arsjad

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak La Patau Matanna Tikka (Raja Bone XVI)

13 Juli 2022   11:03 Diperbarui: 13 Juli 2022   11:11 3447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat suprise dengan terbitnya Buku Catatan Harian La Patau Matanna Tikka yang diterbitkan oleh Yayasan Turikalengna, sebuah usaha yang sangat besar artinya dalam menjaga warisan budaya utamanya di Sulawesi Selatan. Buku ini diterjemahkan dari "lontara bilang" yang merupakan catatan harian pribadi La Patau Matanna Tikka. Naskah ini merupakan naskah yang otentik yang memberikan gambaran kondisi sosial masyarakat pada jaman itu. Beruntunglah kita karena La Patau merupakan seorang raja yang terpelajar dengan literasi yang baik, sehingga menyempatkan diri menulis catatan harian secara disiplin sehingga bisa menjadi warisan sejarah yang tak ternilai hingga hari ini.

La Patau Matanna Tikka adalah Raja Bone XVI yang menjabat pada tahun 1696-1714. La Patau juga merupakan Datu Soppeng XVIII dan Ranreng Tua Wajo XVIII. Masa Pemerintahan La Patau adalah meneruskan kepemimpinan Arung Palakka sebagai Raja Bone yang juga mengendalikan dan berusaha mempersatukan kerajaan -kerajaan di sulawesi selatan bahkan sampai buton, bima dan dompu Pasca perjanjian Bungaya. La Patau Mendapat kepercayaan sebagai Raja Bone untuk meneruskan cita-cita arung palakka di umur 24 Tahun. Tugas berat La Patau adalah menjaga komunikasi dan koordinasi kerajaaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, terutama menjaga stabilitas keamanan dan menjaga konflik antara kerajaan. 

Dalam Buku Catatan Harian La Patau, beliau  banyak disibukkan dengan menerima kunjungan dan laporan permasalahan dari berbagai kerajaan, beliau juga sibuk mengunjungi daerah-daerah kerajaan bone seperti Pattiro, Salangketo (Mare) lewat laut dengan Pelabuhan utama Cenrana. Daerah Bone yang lain dikunjunginya lewat darat yaitu Ajangale, Timurung, Watampone, Palakka, Tellu Limpoe  dan lain-lain. La Patau juga sering mengunjungi kerajaan Soppeng, Luwu, Sidenreng,Suppa, Bantaeng, bulukumba. La Patau juga secara berkala bermukim di Bontoala dan berkomunikasi dengan Belanda di Benteng Roterdam. Bisa kebayang bagaimana mobilitas La Patau yang pada saat itu lebih banyak menggunakan transportasi laut menyusuri Teluk Bone, Selat Bira dan Selat Makassar. La Patau juga sering menyusuri sungai Walennae ke Soppeng dan ke Wajo lewat Danau Tempe dan Sidenreng kemudian lanjut lewat darat menuju ke Barru atau ke Suppa dan lanjut lewat laut ke Makassar. Perjalanan dari Bone ke Makassar dapat ditempuh dengan 5 hari dengan singgah menginap di beberapa tempat. 

Ketegasan La Patau dalam menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di berbagai kerajaaan dapat kita baca dalam buku harian ini. Konflik dengan  bangsawan Gowa, konflik di Mandar, Soppeng dan di Enrekang dan Luwu dapat diselesaikannya. Kuncinya adalah komitmen yang tinggi pada hukum adat dan kejujuran dan ketegasan dalam menegakkan aturan. Bahkan konflik antara kerajaan Bima dan Dompu diselesaikan olehnya.

Banyak sisi -sisi lain tentang kondisi sosial masyarakat di jaman itu yang bisa kita cermati pada buku harian ini, misalnya tentang peran syekh dalam penyebaran agama islam di sulawesi selatan yang sangat dihormati para raja raja di sulawesi selatan. Ritual maulid, puasa dan lebaran yang telah dijalankan dengan baik. La Patau sering menyedekahkan hartanya dalam momen-momen tertentu seperti pada acara kematian atau kelahiran. La Patau juga sering menceritakan jumlah panen padi yang diperolehnya dan telah dikeluarkan zakatnya. Mata Uang yang banyak dipakai pada jaman itu ialah real. Diceritakan juga sesama bangsawan sering saling meminjamkan harta dalam bentuk emas dan real.

Sisi lain berikutnya yang bisa kita lihat dalam buku harian ini adalah hobby bangsawan jaman dulu adalah berburu rusa, sabung ayam, menjala ikan, lomba berkuda dan lomba perahu. Pada setiap daerah ada lokasi berburu yang telah di pagari dan didalamnya rusa dibiarkan berkembang biak. pada waktu tertentu para raja masuk berburu dalam lokasi itu dan bisa membawa hasil 200 sampai 300 ekor rusa. Menjala ikan biasa dilakukan sampai berhari -hari dengan hasil 3 sampai 5 keranjang. 

Sisi lain yang bisa kita cermati dalam buku harian ini adalah derajat kesehatan masyarakat dijaman itu. Penyakit yang banyak di derita adalah buang air, muntaber dan  bisul. Ada banyak ibu -ibu yang meninggal saat melahirkan. Pengobatan banyak dilakukan oleh dukun dengan jampi-jampi, oleh tabib, saat itu juga ada pengobatan cina dan dari jawa. Tingkat perawatan gigi yang masih rendah juga tergambar dalam catatan harian ini. Dalam usia 40 tahun La Patau sudah banyak sekali tanggal giginya dan setiap tanggal  giginya dicatatnya dalam buku harian tersebut. 

La Patau meninggal dalam usia yang masih muda, 42 tahun di bontoala. Tidak ada informasi tentang penyebab kematiannya. La Patau menikahi bangsawan kerajaan Bone, Luwu, Gowa, Soppeng dan Bantaeng sehingga anak cucunya menjadi pewaris kerajaan-kerajaan di sulawesi selatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun