Banyak komentar ditujukan buat 2 nama di atas. Ada yang angkat jempol ada yang mengacungkan jari tengah. Sebenarnya itu hal biasa. Kata orang, ada thesis ada pula antithesis.
Tapi, mari telaah dengan santai. Kenapa Joko Widodo dapat mencetak hits dengan langkah-langkahnya yang hanya di lingkup kotamadya sementara pejabat publik lain dalam skop sama atau yang lebih besar malah dicibiri atau tidak ditoleh sama sekali? Kenapa ESEMKA bisa mencuat padahal produk serupa juga biasa dilakukan sekolah kejuruan lainnya di Indonesia. Kenapa Jokowi dan ESEMKA bersimbiosis mutualisma?
Jokowi tidaklah luar biasa. Ia hanya menjalankan peran "biasa-biasa" saja sebagai pemimpin: mendengarkan untuk akhirnya didengarkan. Kalau pejabat publik lain biasanya tidak sudi mendengar, sibuk minta perhatian untuk didengar. Mereka ingin peran yang "luar biasa." Akibatnya, masyarakat jengah, bosan, dan capek.
ESEMKA juga bukan suatu "lompatan" luar biasa. Wajar-wajar saja sebuah SMK mengeluarkan mobil "rakitan", "cloning", "yang bisa dibuat SMK lain", dan lain-lain. Hanya saja, ESEMKA benar terwujud dan berbentuk. Di SMK lain karya sekelas ESEMKA itu hanya berwujud kurikulum, silabus, atau paling banter tumpukan besi di sanggar sekolah.
Jokowi dan ESEMKA bersimbiosis seperti itu juga taklah "cool" banget. Ada walikota, ada karya SMK di sana. Walikota memakai karya suatu sekolah di lingkungan, ya, biasa. Yang luar biasa itu, pejabat publik yang tidak tahu ada sekolah yang hampir ambruk di daerahnya. Yang luar biasa itu, pejabat publik yang tidak tahu bahwa untuk menyandang suatu gelar perlu kuliah bukannya langsung wisuda. Yang luar biasa itu, silakan beri contoh sendiri.
Jadi, dari wacana yang mengitari Jokowi dan ESEMKA, kompasianer ini menangkap betapa rindunya kita pada hal-hal yang "biasa-biasa" saja. Hal-hal yang tidak berkaitan dengan megalomania, megaproyek, de el el. Sudah tersumbat telinga ini dengan janji muluk masa kampanye. Sudah tersumpal mata ini dengan presentasi rencana dan statistik keberhasilan. Sudah kenyang rongga perut ini terisi pencitraan. Tak ingin lagi dongeng luar biasa seperti seribu candi yang bisa dibangun dalam satu malam. Tak sudi lagi menghamba pada label ratu adil yang disematkan untuk diri sendiri.