Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemerdekaan di Negeri Tidak Merdeka

19 September 2023   07:19 Diperbarui: 19 September 2023   07:30 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.detik.com/

BAYANGKAN kambing yang tengah berada dalam kandang harimau. Barangkali ahli psikologi akan memvonis langsung bahwa kambing itu sakit. Sakit dari akumulasi beragam penyakit psikis; depresi, shock dan stress. Betapa tidak, berada di tengah komunitas yang tidak menyediakan ruang-ruang bagi dia untuk tetap hidup apalagi sekedar mempertahankannya. Sebuah "konstitusi-budaya" yang menutup mati kemungkinan bagi kelangsungan udara yang keluar masuk hidungnya. Dia dalam posisi serba terpencet. Mau lari, kemana? Mau melawan, sudah terlanjur termaktup dalam hukum mereka bahwa saya adalah terdakwa? Mau berontak, sementara saya adalah makanan lezat? Jadi bagi si kambing diam atau bicara tetap berarti kematian dan pesta buat harimau-harimau.

Pentingkah kemerdekaan itu bagi si kambing? Rasional atau tidak rasionalnya argumen menjawab pertanyaaan itu. Saya kira sangatlah tidak penting. Ini dunia binatang. Dunia hutan yang tidak mengenal budaya kemanusiaan. Santap-menyantap, robek-merobek lambung, saling gumul untuk membunuh, mengadu taring, menyetubuhi ibu atau anak sendiri bagi mereka sesuatu yang wajar, sah menurut hukum alam hidup mereka yang secara mutlak telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Kemerdekaan bagi mereka adalah kekuatan fisik dan tingkat kepekaan naluri memangsa.

Apa hubungannya kambing, harimau-harimau atau "budaya binatang" dengan saya, Budiman Sujatmiko, Soeharto, Hasan Tiro, bangsa dan negara atau budaya manusia atau dengan kata merdeka.

Barangkali erat hubungannya kalau kita memotret fenomena kekuasaan pada zaman orde baru dan kenyataan rakyat terdikotomi secara riil pada tingkat ekonomi, pendidikan, peran politik dan keinginan berkata tidak pada sebuah pertanyaan yang menuntut jawaban Ya. Cakrawala kekuasaan yang ter-sentralistik di titik tengah ubun-ubun negara. Negara sebagai sebuah wujud penjelmaan "mitologi" kerajaan, dimana segala perintah bersumber pada satu tangan tokoh yang begitu kokoh mempertahankan sistem raja-raja. Gerak rakyat begitu ketat dikontrol oleh sang raja. 

Kecurigaan terhadap mereka oleh penguasa dirawat sedemikian rupa dengan bermacam-macam alasan untuk mengcounter setiap ada riak sosial yang berbendera pemberontakan atau perlawanan. Segala elemen-elemen bangsa sengaja diinfiltrasi oleh ideologi status quo mulai dari lembaga sensitif melahirkan sosok pemberontak seperti kampus; masyarakatnya dirangkeng dengan rantai politik pendidikan yang sengaja mengarahkan gerak masa depan itu untuk mengabdi pada birokrat yang notabene adalah tangan-tangan penopang kekuasaan. 

Lembaga kontrol seperti pers digantung dengan format 'kebebasan bertanggungjawab' yang maknanya terdegradasi menjadi kebebasan terpasung. Lembaga-lembaga ekonomi dipaksa menandatangani kontrak upeti dengan dalih pembangunan, pembangunan eksklusifisme sejarah yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan menciptakan kekeroposan mental masyarakat. Pendeknya bahwa semua komponen negara dan bangsa secara sistematis dan terprogram disuap dengan ceramah-ceramah yang visinya demi kelanggengan kekuasaan.

Kekuasaan adalah feodalisme terbungkus modernisme. Kekuasaan kumpulan harimau-harimau; induk harimau, anak harimau, cucu harimau, teman-teman, keluarga, konco-konco yang seirama dalam aliran harimaunisme. Mondar-mandir di istana dengan gagah perkasa menampakkan taring politik, taring ekonomi, dan centeng-centeng di beranda eksklusifitas kekuasaan. Di sekitarnya rakyat 'otomatis' menjadi kambing-kambing peliharaan dengan kambingismenya; sebuah aliran yang diterima secara terpaksa dan setengah hati yang setiap saat siap untuk menjadi tumbal kepentingan kerajaan.

Tetapi dalam sejarah gelap pekat bagaimanapun, ruh dan cahaya kebenaran justru menjadikan momentum untuk tampil menampakkan diri dan membimbing kesalahan sejarah yang terbangun karena keserakahan dan nafsu rendah duniawi. Bahwa dalam setiap kegelapan tersimpan sinar cemerlang. Tidak ada gelap tanpa cahaya, keduanya sinkron dan seirama pada setiap perjalanan sejarah.

Kecemasan, rasa takut, penghilangan hak untuk hidup, untuk berdialog dan mengkritik setiap hasil kerja karena intimidasi dan hegemoni politik, pendidikan, kemapanan ekonomi atau budaya penghambaan adalah riak-riak kesuraman sejarah yang olehnya melahirkan hak untuk merdeka, bebas dalam kehidupan apapun tanpa dicekam rasa takut untuk bebas menjalankan hak kemerdekaan sebagai harkat kemanusiaan.

Hak untuk merdeka sebagai salah satu pengejawantahan fitrah kemanusiaan adalah alasan untuk hidup bersama dalam melodi roda-roda kehidupan yang harmoni. Kebebasan berpendapat tidak menjadi bumerang untuk dipenjara. Kebebasan berkumpul dalam kotak yang formal ataupun sekedar kumpul-kumpul tidak seharusnya mendapat kecurigaan penguasa karena 'dianggap' mereka lagi menyusun gerakan kudeta. Distribusi ekonomi terbagi rata tanpa secara nyata terlihat ketimpangan pembagian. Partisipasi dan ekspresi politik warga negara adalah sebuah gejala kebersamaan dalam perbedaan yang sehat bukan justru dimatikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun