Mohon tunggu...
hikbal pane
hikbal pane Mohon Tunggu... Mahasiswa - menyukai bunga; ekspresi, mekar dan bebas.

Mahasiswa Universitas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni, Prodi Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kisah Malin dan Puisi-puisi Lainnya

12 September 2022   07:05 Diperbarui: 12 September 2022   07:18 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kisah Malin

Malin duduk pada kursi yang ringkih. tak ada Nilam dan sang Ibunda, hanya Malin sorang. simpang tiga disana melongo padanya: "setelah tahun-tahun yang mati. entah mengapa secara tiba-tiba, yang mati memang pantas mati," katanya berani.

sorak puan-puan menggelegar, aku memandangi. Malin bukan sorang durhaka lagi. Ia satu dari mereka. Ia satu bukan karna beda. Ia satu dan mengakui karna ia manusia.

2022.

Rengkuh

setelah kaki-kaki yang lapar. kumpulan itu mengais, april dan tanggal-tanggal riuh jadi momentum. tak ada tangga, tak ada rumah. tapi lengkap dengan seutas kata pada bibir.

asin keringat melepir pada pipi panas. tiap-tiap helai berbaris dua banjar, merengkuh pundak dan tekad. kukira yang hebat bukan lari-larian itu. tapi lagi, ada sumpah dan janji disana. sedikit kuintip apa katanya; mereka merengkuh sambil menyembunyi.

2022.

Kutub Bibir

kataku berani: "sabtu ini kita berlarian untuk mengakhiri"
gemintang diam
bulan meredup
kau pergi.

mati aku
tak ada rasa lagi di engkau
esok-esok ingat kataku
balas kataku dengan bibirmu
dalam jauh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun