Kisah Malin
Malin duduk pada kursi yang ringkih. tak ada Nilam dan sang Ibunda, hanya Malin sorang. simpang tiga disana melongo padanya: "setelah tahun-tahun yang mati. entah mengapa secara tiba-tiba, yang mati memang pantas mati," katanya berani.
sorak puan-puan menggelegar, aku memandangi. Malin bukan sorang durhaka lagi. Ia satu dari mereka. Ia satu bukan karna beda. Ia satu dan mengakui karna ia manusia.
2022.
Rengkuh
setelah kaki-kaki yang lapar. kumpulan itu mengais, april dan tanggal-tanggal riuh jadi momentum. tak ada tangga, tak ada rumah. tapi lengkap dengan seutas kata pada bibir.
asin keringat melepir pada pipi panas. tiap-tiap helai berbaris dua banjar, merengkuh pundak dan tekad. kukira yang hebat bukan lari-larian itu. tapi lagi, ada sumpah dan janji disana. sedikit kuintip apa katanya; mereka merengkuh sambil menyembunyi.
2022.
Kutub Bibir
kataku berani: "sabtu ini kita berlarian untuk mengakhiri"
gemintang diam
bulan meredup
kau pergi.
mati aku
tak ada rasa lagi di engkau
esok-esok ingat kataku
balas kataku dengan bibirmu
dalam jauh