Mohon tunggu...
Irmawan syafitrianto
Irmawan syafitrianto Mohon Tunggu... Penjahit - ASN (KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN)

ISTIKOMAH (IKATAN SUAMI TAKUT ISTERI KALO DIRUMAH)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bayang-bayang Gempa Palu bagi Faiz dan Amy

24 Oktober 2018   16:11 Diperbarui: 24 Oktober 2018   18:52 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jumat sore yang cerah untuk kawasan Kota Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018. Langit masih biru, daun tetap hijau, tanah sangat bersahabat sebagai pijakan, angin sepoi-sepoi seakan siap mengantarku untuk lelap. Anak lelakiku, Faiz,  bermain di halaman,  sedangkan anak perempuanku, Amy, terus mengomel ingin dimandikan. Tidak berlama-lama, saya bersegera memasuki kamar mandi untuk menunaikan keinginan sibungsu.

Satu, dua, tiga, guncangan kekiri-kekanan sangat keras terasa, lemari jatuh-kulkas tengkurap-piring berhambur. Gempa sangat keras, segera kurangkul perempuan kecilku dan kukejar sikakak yang gesit. Dapat, keduanya kudekap erat sambil berlari. Oleng dan terjatuh di Garasi, berdiri dan lagi berlari. Di lorong aspal depan rumah kami terhenti, gempa juga terhenti. Bersamaan, tetangga terkumpul ditempat yang sama, ada yang telanjang, ada juga yang setengah telanjang,

Teriakan, tangis, zikir, bercampur terdengar. Sigadis kecilku jongkok menunduk, sikakak yang gesit menangis ketakutan. Sambil berusaha menenangkan, kurangkul keduanya dan berbisik, nak-mari berdoa, agar Allah memberi keselamatan, agar kita masih bisa bertemu bunda.

Keduanya lantas terdiam, tidak berselang lama, gemuruh tanah kembali memecah hening. Guncangan hebat, naik-turun kembali terjadi, kali ini lebih ngeri karena disertai suara bangunan yang roboh, namun Alhamdulillah rumah kami tetap berdiri. Kedua anak saya paham, mereka tetap jongkok menunduk, berserah pasrah kepada Allah.

Jumat malam kala itu sangat mengerikan, ada yang berteriak tsunami, ada yang berteriak jalan terbelah, juga ada yang berteriak lumpur lumpur, lari.

Di depan rumah kecil kami ada bukit kecil, tapi sepertinya cukup aman untuk mengindari tsunami. Untuk beberapa saat, kami mengungsikan diri di bukit itu. Di bukit kecil itu, hampir seluruh penjuru Kota Palu dapat terlihat saat terang. Kala itu, semuanya gelap, hanya ada titik api sebagai tanda kebakaran telah terjadi.

Malam kami lalui dengan kecemasan, tiap saat gempa-gempa susulan masih sering terjadi. Faiz dan Amy makin terbiasa, mereka makin kuat, makin mengerti bahwa Allah telah mengatur semuanya.

Tiga hari kami lalui, tidur beratap langit beralas tikar dan sedikit hawa aspal sebagai penghangat. Sesekali mereka bertanya, ayah sampai kapan gempa ini? Sampai kakak Faiz tidak nakal dan sampai adik Amy tidak rewel jawabku sembari senyum. Hari keempat pasca gempa anak-anak dijemput oleh bundanya, isteriku tersayang untuk dievakuasi ke Makassar, di Makassar cukup aman untuk sejenak mengobat trauma.

Semenjak anak-anak dievakuasi, hari-hari saya lalui sebagai relawan Tanggap darurat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sangat padat aktivitas relawan KKP, tugasnya memastikan stakeholder perikanan tersentuh bantuan dan tidak kekurangan logistik.

Hari ini saya baru berkesempatan berbagi kisah melalui kompasiana. Tulisan yang acak-acakan ini saya buat diatas pesawat, satu jam perjalanan terbang dari  Palu menuju Makassar.  semoga dimaklumi karena saya menulis bercampur rasa capek dan rindu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun