Hari ini, Selasa, 25 Maret 2025, timnas piala dunia 2026 akan kembali bertarung di kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Bahrain. Inilah saatnya timnas bangkit menyembuhkan luka setelah dipecundangi Australia secara telak 1 - 5 pada Kamis, 20 Maret 2025 kemarin. Apalagi kita bermain di kandang sendiri. Sekaligus, ini akan menjadi ajang pembuktian bagi pelatih Patrick Kluivert terkait kelayakan dirinya menakhodai timnas ke depan.
Selain menghidupkan asa lolos ke Piala Dunia, kemenangan hari ini akan membangkitkan rasa nasionalisme bangsa ini. Juga, menjadi penglipur lara masyarakat di tengah tren kemunduran demokrasi yang sedang terjadi saat ini, terlihat dari mulai maraknya ancaman terhadap kebebasan pers seperti pengiriman kepala babi kepada media kritis Tempo.
Kita harus ingat bahwa sepak bola merupakan olahraga yang punya makna jauh melampaui sekadar permainan. Sebab, sepak bola punya kekuatan dahsyat untuk menggerakkan perubahan sosial-politik suatu bangsa.
Pengobar nasionalisme
Dalam konteks Indonesia, sebagai contoh, sepak bola berperan penting mengembangkan nasionalisme kita. Misalnya, sejak Boedi Oetomo berdiri pada 1908, para tokoh politik nasional mendukung berdirinya klub-klub sepak bola karena menyadari pertandingan sepak bola yang ditonton ribuan orang pribumi dapat mengusik pihak kolonial Belanda. Selain itu, taktik sepak bola ikut melatih
pola pikir masyarakat bumiputra dalam mematangkan strategi perjuangan melawan Belanda.
Maka itu, Belanda melihat kegandrungan masyarakat bumiputra terhadap sepak bola sebagai fenomena membahayakan, sehingga mereka berusaha mengendalikan sepak bola lewat pembentukan induk organisasi NIVB (Nederlandsche-Indische Voetbal Bond). Kebijakan ini lantas ditandingi dengan pembentukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930 di Yogyakarta yang diketuai Ir. Suratin Sosrosoegondo, eks mahasiswa Indonesia di Jerman. Misi PSSI begitu mulia: sebagai jendela kebangsaan dan salah satu pintu gerbang menuju kemerdekaan (Arief Kusumah, Drama itu Bernama Sepak Bola, Elex Media, 2008).
Namun, kebijakan kolonial itu tak urung berdampak buruk bagi sepak bola bumiputra. Ketika mendapatkan jatah masuk ke Piala Dunia 1938 dengan nama Hindia Belanda, NIVB justru mengirimkan nama-nama kelas dua, seperti Nawir, Mo Heng (kiper), dan Anwar. Padahal, ada nama-nama lebih berkualitas seperti Moestaram, Djawad, Jazid, Soetris, dan Maladi (Wildan dan Mayong Suryolaksono, "Indonesia Wakil Pertama Asia di Piala Dunia", Majalah Intisari, Mei 2006).Â
Konon, Belanda sengaja asal pilih pemain supaya prestasi tim ini terpuruk dan kesadaran kebangsaan kolektif bumiputra tidak akan
terbentuk. Benar saja, Hindia Belanda langsung dipecundangi 0 - 6 oleh Hungaria di babak awal.
Namun, dunia sepakbola nasional berubah ketika Soekarno mencanangkan olahraga sebagai elemen penggerak nasionalisme. Komitmen politik pemerintah terhadap sepak bola demikian kuat sampai-sampai Soekarno menunjuk R. Maladi sebagai ketua KOGOR (Komando Gerakan Olahraga) yang bertugas menyiapkan Asian Games IV di Jakarta pada 1962. Boleh dibilang, pada era Soekarno-lah
prestasi tim nasional sepak bola kita paling disegani. Artinya, prestasi sepak bola sangat terkait dengan komitmen politik (political will) dari pemerintah.
Dwitunggal