Tanpa terasa, kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Masjid-masjid secara umum akan kembali ramai karena umat seakan tak ingin berpisah dari bulan suci Ramadan. Juga, mereka pastilah menginginkan suatu malam bernama Lailatul Qadar. Sesuai surah Al-Qadr ayat 1-3, inilah malam kemuliaan di mana Alquran diturunkan dan malam itu lebih baik daripada seribu bulan. Ada yang mengartikan bahwa barang siapa mendapatkan kemuliaan malam Lailatul Qadar, ia akan diganjar pahala senilai seribu bulan atau sekitar 84 tahun, yang melebihi batas usia manusia secara umum.Â
Rasulullah SAW memang bersabda bahwa malam kemuliaan penuh ampunan itu ada di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan, terutama di malam-malam ganjil. Maka itu, umat Islam dianjurkan untuk beriktikaf atau berdiam di masjid, melepaskan diri sejenak dari keterikatan dunia sembari tekun beribadah demi menggapai malam yang nilainya bisa setara atau bahkan melebihi batas usia mereka.
Namun lebih dari itu, ibadah iktikaf sebenarnya sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mencapai pembersihan diri sebagaimana dicita-citakan semangat Ramadan. Jika diri sudah bersih karena ampunan Allah terhadap dosa-dosanya dan juga sudah berlimpah rahmat maupun pahala, itu berarti ia sudah meraih Lailatul Qadar. Pembersihan diri inilah yang lantas dirayakan pada hari Idul Fitri.
Ini selaras dengan pemikiran ulama besar Islam yang dijuluki sebagai Hujjatul Islam (Pembela Islam), Imam Al-Ghazali (1058-1111 M). Menurut disertasi Dr. Muhammad Yasir Nasution di IAIN (sebelum menjadi UIN) Syarif Hidayatullah, Manusia Menurut Al-Ghazali (Srigunting, 2002, hal. 213-214), manusia memiliki tugas untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia yang sempurna, terutama sempurna jiwanya. Adapun pencapaian kesempurnaan ini harus dicapai dengan upaya pembersihan jiwa.
Al-Ghazali melanjutkan bahwa upaya pembersihan jiwa harus dilakukan dengan al-mujahadat dan al-riyadhat. Al-mujahadat adalah kesungguhan menghilangkan segala hambatan, sementara al-riyadhat merupakan latihan pendekatan diri kepada Tuhan.
Upaya pembersihan jiwa itu berlangsung secara berangsur-angsur melalui beberapa maqam (stations, kedudukan, tahap), yaitu al-tawbat (taubat), al-shabr (sabar), al-syukr (syukur), al-khawf (takut), al-raja' (mengharap), al-zuhd (asketis), al-tawakkul (berserah), dan al-mahabbat (cinta).
Sebelum memasuki tahap-tahap itu, seseorang harus memiliki keyakinan hati yang sungguh-sungguh (al-iradat) yang bisa didapatkan dengan cara melepaskan keterikatan (al-tajarrud) dari empat hal: harta, kemegahan, taklid buta, dan kemaksiatan.
Secara konkret, keterlepasan dari keterikatan itu akan membentuk pertahanan diri yang diperlukan dalam rangka penyempurnaan jiwa, yaitu lapar, jaga (mengurangi tidur), dan mengasingkan diri (al-khulwat).
Jika diringkaskan, manusia yang berhasil membentuk pertahanan diri akan menjadi ahlul iradat (orang dengan tekad atau keyakinan sungguh-sungguh), dan ini berperan sebagai modal awal bagi dia untuk melakukan al-mujahadat dan al-riyadhat dengan melalui delapan maqam atau tahap yang ada.