Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Bola

Timnas Indonesia Ditekuk Australia, Cerminan Demokrasi Kita?

20 Maret 2025   23:14 Diperbarui: 20 Maret 2025   23:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 Indonesia vs Australia pada 20 Maret 2025 dengan skor 1 - 5 (sumber:sumsel.tribunnews.com)

Antiklimaks! Begitulah kesan yang terlintas saat menyaksikan hasil akhir pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 antara timnas piala dunia 2026 dan Australia. Betapa tidak, datang ke Australia dengan harapan tinggi dan pelatih baru dari Belanda, timnas kita justru dibantai 1 - 5. 

Mengawali dengan formasi serang 4 - 3 - 3, timnas Indonesia di 10 menit pertama tampil meyakinkan dan menyerang hingga membuahkan penalti dari pelanggaran tim Australia terhadap Rafael Struick. Sayangnya, kesempatan emas itu gagal dieksekusi oleh Kevin Diks. Sejak itulah, keadaan menjadi bencana hingga berujung pada hasil akhir mengenaskan 1 - 5.

Strategi Minus demokrasi

Seperti sudah saya sampaikan di tulisan sebelumnya siang tadi, "Timnas Piala Dunia, Total Football, dan Cita Demokrasi Sosial", Kluivert tampaknya ingin mempraktikkan strategi total football ala Rinus Michels dan Johan Cruyff dengan formasi 4 - 3 -3. Sayangnya, strategi itu di Belanda hanya berhasil jika formasi atau sistem sosial-politik-ekonomi negara mengambil wujud berupa demokrasi sosial.

Korelasi antara sistem sosial-politik-ekonomi suatu negara dan prestasi sepak bola terjadi juga di Italia. Pada 1930-an, sosialisme Italia diterjemahkan ke gaya klasik sepak bola Italia yang bersendikan operan pendek efektif, kolektivitas tinggi dan pertahanan solid (Seno Gumira Ajidarma, "Sepakbola dan Pembauran Gaya", Majalah Intisari, Juni 2010). Hasilnya, Italia sukses menjuarai PD 1938 di Prancis. Atau, sosialisme Katalunya di Barcelona yang melawan otoriter Spanyol di Madrid melahirkan sepak bola kolektif tiki-taka.

Dalam kasus Belanda, merujuk Darmanto Simaepa dan Mahfud Ikhwan dalam Dari Belakang Gawang: Esai-Esai Sepak Bola (KPG, 2021, hal. 43-44), periode membosankan dan stagnan sepak bola Belanda terjadi bersamaan dengan rontoknya demokrasi sosial Belanda. Partai aliran kanan dengan agenda antiimigran dan pelarangan jilbab meraih simpati luas. 

Ketegangan dengan pendatang pun meningkat dan toleransi tidak lagi membanggakan. Anggaran sosial dipangkas dan pemerintah meminta warga negara untuk menyelesaikan masalah tanpa bantuan negara. Selain itu, Belanda tidak lagi menjadi"pemandu demokrasi" seperti semboyan lama mereka. Bahkan pada 2013, Raja William resmi mengumumkan kebangkrutan Belanda sebagai negara kesejahteraan (welfare state) yang merupakan buah dari demokrasi sosial.

Korelasi yang seperti ini membuat kita curiga dengan koinsidensi lunglainya prospek demokrasi di Indonesia. Pasalnya, di tengah kritik dan demonstrasi publik yang cukup luas, Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI justru disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari yang sama dengan pertandingan timnas kita melawan Australia. Padahal, RUU TNI ini menggelisahkan cukup banyak masyarakat sipil karena dikhawatirkan akan mengembalikan dwifungsi militer yang sempat dominan di era Orde Baru, hanya saja dengan sejumlah varian dan modifikasi.

Menariknya, semua anggota DPR dan fraksi di DPR menyetujui pengesahan ini. Tidak ada penolakan sama sekali, termasuk dari PDIP sebagai partai yang masih mengaku belum bergabung dengan pemerintahan. Artinya, ini kian menegaskan kondisi demokrasi Indonesia yang tanpa oposisi. 

Padahal, ketiadaan oposisi, mitra kritis, atau apa pun namanya, sama saja menciptakan kondisi pseudo-demokrasi alias demokrasi semu atau demokrasi seolah-olah. Sebab, oposisi di parlemen berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang yang mengartikulasikan kekecewaan masyarakat secara formal-rasional di gedung dewan ketimbang masyarakat menyalurkannya di jalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun