Indonesia saat ini bisa saja bangga mengakui sebagai salah satu dari lima negara demokratis terbesar di dunia. Namun, banyak warga negaranya yang saat ini sebenarnya sedang bertanya-tanya: apa gunanya demokrasi jika saat ini kita belum mencapai kesejahteraan, bahkan sekadar untuk bertahan hidup saja sulit?Â
Pertanyaan yang wajar dan relevan di tengah maraknya gelombang PHK dan pasang naiknya fenomena deindustrialisasi atau sunset industry di mana sektor manufaktur padat-karya yang menyerap banyak lapangan kerja meredup hingga merampas banyak warga dari haknya untuk hidup layak sebagaimana dijamin oleh konstitusi kita, UUD 1945.
Fenomena di atas sekaligus menggemakan kritik Bung Hatta terhadap demokrasi individual ala Barat, yang tampaknya kini menjadi kiblat dominan praktik demokrasi kita. Sebagaimana dikemukakan Junarto Imam Prakoso dalam "Memahami Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Bung Hatta" (Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 5 No.1, 2005. hal. 74), Bung Hatta mengkritik individualisme sebagaimana dilahirkan oleh Revolusi Prancis. Menurut Hatta, Revolusi Prancis berhasil dalam politik, yaitu persamaan hak-hak politik, tapi gagal dalam demokrasi ekonomi.Â
Kapitalisme pasca revolusi yang menggantikan feodalisme justru menggurita dan menginjak kelompok ekonomi lemah sehingga melenyapkan persaudaran. Bagi Hatta, demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi sama saja dengan penjajahan, padahal cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, yaitu keadilan sosial yang meliputi segala lapisan.
Memangnya, jika trajektori sejarah reformasi politik kita semakin mendekati demokrasi liberal-individualis ala Barat dan menjauh dari pakem demokrasi sosial yang sudah digariskan oleh para pendiri bangsa kita seperti Bung Hatta, apa sih akibatnya? Fatal: kesenjangan ekonomi tajam, individualisme yang meraja, ketidakadilan hukum di mana-mana, dan oligarki modal maupun politik yang berkuasa alih-alih rakyat sebagai pemegang kedaulatan sesungguhnya.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga negeri ini tetap di dalam koridor demokrasi tanpa mengabaikan unsur kesejahteraan di dalamnya? Salah satu caranya adalah dengan menyuntikkan suatu penawar bernama Republikanisme.  Inilah tradisi filsafat politik panjang yang melibatkan sejumlah nama filsuf dan negarawan tersohor yang merentang dari Aristoteles, Cicero, Machiavelli, JJ Rousseau, James Harrington, hingga James Madison. Untuk memudahkan kita mengenali apa itu Republikanisme, Robertus Robet dalam Republikanisme (Marjin Kiri, 2021, hal.76-78) meringkaskan 12 ciri umum republikanisme sebagai berikut:
1. Politik adalah ibu dari berbagai ranah tindakan. Politik merupakan kerangka dan tindakan untuk mencapai kehidupan yang baik. Dalam republikanisme, politik secara etis ditafsirkan sebagai sarana kebersamaan mencapai kebahagiaan hidup.
2. Politik harus mengatasi ekonomi atau politik tidak boleh kalah dari sektor ekonomi. Dunia politik harus dihindari dari berbagai pengaruh ekonomi supaya ia benar-benar bisa diarahkan untuk mengabdi kepentingan umum.
3. Despotisme dan korupsi adalah musuh utama republik. Sebab, korupsi merusak kepentingan publik.
4. Masyarakat harus dipandang sebagai kerangka kebersamaan. Politik dalam republik selalu mengandalkan dialog. Dengan demikian, politik mensyaratkan penerimaan akan kebersamaan dengan yang lain. Jadi, republic digerakkan oleh energi dialog dan persaudaraan.
5. Politik mensyaratkan logos. Segala aktivitas dalam republik selalu menuntut kemampuan untuk menggunakan dan mengembangkan diskursus (wacana, percakapan) yang rasional antara sesama warga. Berbekal logos (rasio), politik dalam republik bisa membatasi dirinya dari kekerasan dan korupsi.