Menjelang datangnya bulan Ramadan dan tentunya juga Idul Fitri atau Lebaran, jamak dijumpai masyarakat justru kian gemar berbelanja dan semakin konsumtif. Memang secara ekonomi, kegiatan berbelanja ini dapat meningkatkan konsumsi sekaligus pertumbuhan ekonomi, yang saat ini butuh didongkrak akibat kelesuan yang belum pulih pasca-pandemi. Namun, di sisi lain, konsumsi berlebih tanpa diiringi penghasilan yang memadai akan berbahaya karena bisa menjerembabkan masyarakat ke dalam belitan utang atau tergoda melakukan tindak kriminal.
Maka itu, kita perlu mengetahui kebiasaan berbelanja macam apa yang terjadi di Indonesia dan apa alasan di balik itu. Secara ringkas, saya berpendapat bahwa Indonesia kini memasuki fase ekonomi berbasis kenikmatan. Inilah bentuk ekonomi yang bergerak lewat mesin kesenangan, kenikmatan dan kebahagiaan fana. Merujuk filsuf postmodern Jean-Francois Lyotard (Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Jalasutra, 2004, hlm. 115), ekonomi semacam ini bisa disebut juga ekonomi bujuk rayu, ekonomi libidinal atau ekonomi ekstasi yang ingin memanfaatkan segala potensi dan kesenangan serta gairah dalam diri.
Mengapa saya berpendapat demikian dengan meminjam wawasan filosofis Lyotard? Sebab, dari tahun ke tahun, saya melihat menjelang hari raya orang berlomba-lomba membeli segala sesuatu yang baru: gawai baru, baju baru, kendaraan baru, dan sebagainya. Padahal, segala sesuatu yang baru itu bukanlah kebutuhan utama (needs), melainkan sekadar keinginan atau hasrat (desires). Para pemasar modern pun menangkap peluang ini sehingga menggerakkan mesin pengganda hasrat lewat berbagai instrumen: iklan pop-up di media sosial, etalase memikat di toko fisik, narasi para pemengaruh (influencer), dan sebagainya. Jadilah kita setiap hari dibombardir dan dikepung oleh rentetan amunisi pemasaran media sosial yang kita tidak bisa lepas darinya.
Meminjam Michel Foucault dalam The Birth of Prison (1977), kita seakan hidup dalam dunia panoptikon di mana kita selalu dipantau oleh para pemasar produk lewat mekanika algoritma dan "didisiplinkan" untuk menunjukkan perilaku konsumtif atau membeli (purchasing behaviour)
Plus minus
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, di satu sisi mesin kenikmatan ini punya pelumas bernama daya beli masyarakat yang nanti akan berujung pada pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain mesin ini berpotensi melambat atau bahkan macet jika pelumas yang dipakai ini berkualitas rendah. Maksud dari berkualitas rendah ini adalah apabila konsumsi ini datang dari utang ketimbang dari hasil keringat kerja yang kita sebut sebagai produktivitas.
Pasalnya, bila utang ini nantinya tidak terlunasi secara berjamaah oleh debitur atau peminjam, efek domino ekonomi akan terjadi dan meluluhlantakkan berbagai institusi finansial. Ini bukan pepesan kosong karena sempat terjadi di dunia dalam bentuk krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) dan juga krisis global 2007-2008.
Masalahnya, ekonomi kenikmatan memang sering berbanding terbalik dengan produktivitas. Logika yang tergambar sederhana, yaitu kenikmatan secara filosofis membuai dan membuat terlena manusia untuk terus berkubang dalam pesta pora tanpa memikirkan hari esok.
Alhasil, moto dan slogan utama ekonomi libidinal adalah hidup hanyalah untuk hari ini. Horison waktu manusia menyempit, sehingga filosofi hidup untuk hari ini tersebut mengejawantah dalam prinsip tak ada guna memikirkan dan bekerja demi esok hari. Tidak ada ruang bagi perencanaan matang, padahal Peter Drucker pernah mengatakan those who fail to plan are those who plan to fail, yaitu mereka yang gagal melakukan perencanaan sejatinya secara paradoks sedang merancang rencana untuk gagal.
Kurangnya perencanaan lantas melahirkan nasib malang di penghujung hari berupa kepapaan finansial (financial impoverishment). Saat terdesak dan tidak ada sumber daya finansial untuk mendanai hasrat yang adiktif, orang bisa saja mengadopsi sikap menghalalkan segala cara (the end justifies the means) yang secara konkret mewujud dalam bentuk aksi-aksi kriminal seperti korupsi, gratifikasi, penipuan, perampokan, dan lain sebagainya. Atau, orang dapat mengembangkan perasaan tidak berdaya sehingga mengidap depresi dan bahkan mengakhiri hidup. Ini terbukti dari temuan beberapa kasus di mana ada orang mengakhiri diri karena merasa tidak berdaya lantaran terbelit utang pinjol.