Abad ke-21 adalah era kepemimpinan perempuan. Lihat saja, betapa terjadi fenomena invasi kaum perempuan me"ratu"i dunia politik. Kita tentu kenal nama-nama Julia Gillard (Perdana Menteri perempuan pertama di Australia), Dilma Rouseff (presiden perempuan pertama di Brazil), Christina-Kirstchner (presiden perempuan pertama di Argentina), Angela Merkel (Kanselir perempuan pertama di Jerman), Michele Bachelet (presiden perempuan pertama di Chile), Helen Clark (perdana menteri perempuan pertama di Selandia Baru), Kamala Harris (wakil presiden perempuan pertama di Amerika Serikat) dan sejumlah nama kaliber lainnya. Bahkan di Indonesia, kita pernah memiliki presiden perempuan, Megawati Sukarnoputri.
Menurut psikolog dan filsuf M.A.W Brouwer dalam Young Love (Penerbit Buku Kompas, 2007), memang ada perbedaan tegas antara spirit laki-laki dan perempuan. Spirit laki-laki lebih rasional, sehingga ia cenderung teknis, dingin, mendominasi, agresif-koersif (memaksa) dan bersifat manipulatif-eksploitatif dalam menjalin relasi dengan sesama manusia dan alam. Sementara itu, spirit perempuan atau feminin lebih bercorak memelihara, preservatif-harmonis, dan persuasif ketika memandang hubungannya dengan alam.
Dengan kata lain, jika kepemimpinan (leadership) dianggap sebagai "alat untuk membawa satu organisasi dan manusia-manusia di dalamnya mencapai satu tujuan bersama", maka kepemimpinan berorientasikan spirit maskulin (laki-laki) lebih mementingkan instruksi, komando (perintah), dan standar baku hitam-putih. Di sisi lain, kepemimpinan berorientasikan spirit feminis akan mengutamakan negosiasi, persuasi, dan kustomisasi.
Pada titik inilah, kita bisa memahami mengapa begitu banyak perempuan mengemuka sebagai pemimpin. Sebab, abad ke-21 adalah era di mana modernisasi mulai digugat. Dalam khazanah pemikiran filsafat, modernisme yang ditandai oleh rasionalisme Descartes adalah paham yang menyatakan manusia lewat akalbudinya bisa mencapai hukum-hukum alam yang universal guna menguasai alam. Alhasil, pemikiran seperti ini menganggap manusia sebagai penguasa alam yang memegang otoritas penuh atas dunia. Singkat kata, modernisme menutup pintu bagi munculnya pemikiran-pemikiran berbeda dan sangat mementingkan adanya konsensus.
Padahal, terkait munculnya kebebasan teknologi informasi dan menyempitnya batas-batas dunia, manusia dan bangsa-bangsa di abad ke-21 mulai mendapatkan kemudahan untuk mengekspresikan dirinya yang unik sekaligus mendobrak penyeragaman budaya yang ingin didesakkan proses globalisasi. Maka itu, hari-hari ini kita bisa melihat betapa dalam bidang kebudayaan, sebagai contoh, produk Amerika tidak lagi menjadi standar utama. Buktinya, ekspresi-ekspresi kultural lain mulai mampu mencuat dan mengekspor dirinya ke berbagai belahan dunia. Ambil contoh keranjingan masyarakat global terhadap segala hal berbau Jepang (J-Pop), Korea (K-Pop), atau film-film India (Bollywood).
Kepemimpinan postmodern
Jadi, perbedaan makin menjadi keniscayaan di abad ke-21 dan siapa pun yang ingin menggilas perbedaan tersebut sama saja menyalahi tren umum yang sedang berlangsung. Dalam bahasa seorang filsuf postmodern, J.F. Lyotard (Report on Postmodern Condition, 1984), era postmodern menampik konsensus ala modernisme dan justru ingin merangkul disensus alias perbedaan.
Seturut kian sentralnya elemen perbedaan dalam pergaulan dunia, maka spirit maskulin yang mengutamakan dominasi dan memasung perbedaan menjadi usang. Dipetakan ke dalam dunia kepemimpinan bisnis dan politik, semangat agresif yang demikian justru melahirkan perlawanan dan turbulensi tingkat tinggi. Spirit feminin pun menyalip sebagai alternatif segar yang memang ampuh. Corak persuasi dan negosiasi dari spirit perempuan jelas lebih cocok untuk mengakomodasi perbedaan demi membuahkan keputusan-keputusan yang berterima bagi para stakeholders dalam satu organisasi, baik itu perusahaan maupun negara.
Akhirulkalam, abad ini adalah masa mulai relevannya spirit feminin alias perempuan. Namun, ini bukan berarti kaum laki-laki tidak relevan. Hanya saja, ini menjadi pelajaran betapa kaum laki-laki harus mulai merangkul spirit kepemimpinan feminin. Kata kunci bagi seorang pemimpin politik adalah bagaimana mencari keseimbangan pas antara spirit feminin dan maskulin.
Â