Biarpun langit runtuh, keadilah mestilah ditegakkan. Begitu luhur slogan itu, namun begitu hampa apabila kita melihat kenyataan di negeri kita belakangan ini! Betapa tidak, di tengah kerinduan orang akan sabetan tajam pedang keadilan, kita justru melihat sifat durjana sebagian kaum berpunya alias kaum oligarkis yang meraja di Indonesia. Sementara, mereka yang papa dan lemah tanpa daya terkulai sekarat di kaki sang dewi keadilan. Lihat saja, misalnya ada kasus di mana pelaku korupsi sektor pertambangan senilai triliunan ternyata hanya divonis 6,5 tahun. Atau, kasus pembunuhan di Jawa Timur di mana pelakunya mendapatkan vonis bebas terlepas dari gamblangnya bukti-bukti di tingkat pengadilan negeri. Belakangan, Kejaksaan Agung mendapati majelis hakim kasus tersebut ternyata menerima uang suap dalam jumlah fantastis.
Kondisi seperti di atas tentu membuat kita bertanya-tanya: apakah masih ada keadilan dan hukum di negara ini? Padahal, kedua elemen ini seyogianya menjadi dua sisi dari satu mata uang yang sama. Sayangnya, di Indonesia keduanya terkesan seperti dua saudara kembar yang sedang bermusuhan alias tidak nyambung. Sebab, hukum di Indonesia berhenti pada tataran formalistik legal-formal sesuai dengan apa yang termaktub di hukum positif atau undang-undang. Alih-alih mencari keadilan substantif, hukum justru mengabaikannya atas nama pengutamaan aspek formal.
Jelas positivisme hukum yang berkuasa membuat mekanisme hukum di negeri kita menyimpang dari jalan yang benar. Ironis, karena sesungguhnya hukum itu mesti dan wajib menjadi fungsi dari norma moral. Artinya, hukum yang tidak berfungsi dalam suatu negara sejatinya menandakan bangkrutnya juga moral negara atau bangsa yang bersangkutan. Bahasa lugasnya, meminjam Ahmad Ali dalam Solusi Keluar dari Keterpurukan Hukum (2002), keterpurukan hukum adalah buah dari moralitas yang rusak.
Beranjak dari latar belakang yang demikian, maka pemecahan terhadap krisis hukum di negeri ini layak ditinjau dari sudut pandang moral. Adapun tinjauan itu seyogianya dimulai dengan mencari asal-muasal atau akar permasalahan dari dekadensi moral tersebut. Sebagai permulaan, baik bila kita menyitir pendapat cendekiawan muslim terkemuka Abdul Aziz Sachedina. Dalam studinya tentang pemikiran intelektual Iran termasyhur Ali Syariati, Sachedina (1995) mengatakan bahwa akar dari segala krisis sosial-politik-hukum adalah syirik terhadap Tuhan.
Maksudnya, saat orang berbuat kerusakan di muka bumi, entah itu dalam bentuk korupsi, kezaliman kekuasaan, dan lain-lain, itu berarti sang pelaku sebenarnya tidak lagi takut terhadap Tuhan dan menduakan Tuhan dengan selain-Nya, baik itu dalam bentuk materi, kedudukan, dan lain sebagainya. Sang pelaku menentang Tuhannya dan jalan yang digariskan-Nya, persis seperti syaitan yang membangkang perintah Tuhan. Itu lagi-lagi bermakna bahwa sang pelaku telah menduakan Tuhan alias musyrik, yang merupakan dosa besar tak terampuni di sisi Tuhan. Sementara itu, syirik berhulu pada kesombongan ego pribadi yang merasa paling berkuasa dan benar sendiri.
Dengan syirik pula sang pendosa sebenarnya telah membohongi dirinya sendiri. Sebab, menduakan Tuhan sama saja mengingkari kenyataan bahwa hanya Tuhan-lah yang Mahakuasa. Di sisi lain, membohongi diri sendiri sesungguhnya berakar dari rasa takut. Jadi jika dirunut-runut, syirik berasal dari berbohong terhadap diri sendiri, berbohong itu berakar pada sombong, dan sombong bersumber dari rasa takut. Mata rantainya adalah takut, sombong, bohong dan syirik.
Dalam konteks cerita kejatuhan syaitan, misalnya, syaitan takut kemuliannya tergeser oleh diciptakannya Adam oleh Tuhan. Karena itu, ia bersikap sombong terhadap Adam dan membohongi dirinya sendiri bahwa dia lebih baik dari Adam, hal yang berbuah pada pemberontakan terhadap Tuhan. Syaitan dari situ kemudian melakukan kebohongan kedua, yaitu kebohongan terhadap pihak lain.
Dalam hal ini, syaitan membohongi Adam dan Hawa dengan tipu daya untuk memakan buah khuldi. Tujuannya jelas, supaya Adam (manusia) juga terusir dari surga agar syaitan dapat memuaskan rasa dengki akibat nasibnya yang terkutuk diusir dari firdaus, sebuah nasib yang berpangkal pada kesombongan.
Menapak tilas ke belakang, contoh syirik terbesar dapat ditemukan pada diri Firaun di zaman Nabi Musa. Firaun adalah figur penguasa yang congkak bukan alang kepalang sampai-sampai mengaku dirinya sebagai Tuhan. Dengan kata lain, Firaun adalah simbol degradasi dan kerusakan moral paripurna, yang berujung pada kerusakan sistem sosial-politik-ekonomi-hukum di Mesir. Sekaligus, kesombongan Firaun menandakan ia sedang membohongi dirinya sendiri.
Ketakutan Firaun akan ramalan datangnya Musa membuat dia menabiri dirinya dengan rasa sombong sebagai penguasa. Kesombongan ini lalu berujung pada sikap Firaun membohongi dirinya sendiri sekaligus pada kelaliman Firaun menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.