Hidup di rantau, meski keuangan sangat terbatas jangan sampai terkungkung sehingga tidak bisa memperluas persahabatan dan mengembangkan kerohanian.Â
Di UNS, dibangun berbagai tempat ibadah yakni masjid kampus, pura kampus dan gereja kampus yang sering kami singkat gerpus. Bersama beberapa rekan saya kemudian membuat sebuah persekutuan mahasiswa, saya ditunjuk sebagai ketuanya.
Kami kemudian membuat persekutuan secara rutin, setidaknya seminggu sekali dan tempat persekutuan itu di gereja kampus.Â
Dari persekutuan inilah kemudian saya mengenal seorang mahasiswi prodi akuntansi yang kemudian kami menjalin hubungan, dan setelah kami selesai kuliah serta bekerja kemudian kami menikah.
Sebuah ending yang indah, bukan? Setiap kali berbicara sekolah di rantau, memang banyak sedihnya karena keterbatasan uang sehingga harus menahan diri terhadap bermacam-macam kesenangan.Â
Tetapi jika kemudian mengenang pada saat itulah bertemu seorang teman hidup yang mau menerima diri ini apa adanya dan memulai hidup berkeluarga dengan penuh kesahajaan, maka mengenang masa-masa perantauan menjadi masa-masa yang sangat mengasyikkan!