Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Tembakan Jitu

6 Januari 2022   06:03 Diperbarui: 6 Januari 2022   06:07 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: id.aliexpress.com

Sebuah Tembakan Jitu

Cerpen: Suyito Basuki

Pernah sangat ingin membunuh seseorang yang aku benci.  Inilah yang terjadi pada saat itu.  Laras senapan aku arahkan tepat di jantung Pak Maksum.  Namun beberapa kali harus aku geser moncongnya karena lelaki usia 50-an tahun itu kadang duduk dan secepat itu berdiri lagi, mengusap peluh di dahinya.  

Bulan nyaris bulat, menolongku untuk melihat orang yang menjadi buruanku.  Dari jarak sekitar 30 meter, dari sebuah semak yang cukup rimbun, aku menahan napas.  

Sesak sekali, tepatnya susah sekali untuk bernapas karena seluruh muka tertutup dengan kain.  Yang kelihatan hanya dua mataku yang nanar mengawasi setiap pergerakan tetangga yang membenciku dan telah mempermalukanku belum lama ini.  Saat itu aku dikatakan banci, anak kere tidak punya masa depan, dan perkataan-perkataan buruk lainnya.

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu kemudian menekukkan tubuhnya. Dia ayunkan cangkulnya mengambil tanah untuk menutup aliran sungai kecil atau tepatnya kalen supaya tidak masuk ke sawah sebelah, sawah peninggalan kakekku.  

Kemudian dia ayunkan lagi cangkulnya melubangi pematang sawahnya yang berhimpitan dengan kalen itu.  Air yang memang tidak seberapa banyak itu, kemudian seolah enggan masuk ke dalam sawah Pak Maksum.

Orang yang semena-mena memutuskan hubunganku dengan Savitri itu kemudian duduk menghisap rokok. Diisapnya rokok klobotnya dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya asap melalui mulutnya yang aku jijik karena perkataan-perkataan kotornya yang telah aku dengar.  

Asap rokok bagaikan tarian raksasa, menggumpal, melompat, menekuk dan akhirnya tertiup angin, pudar ke arah tebing bukit yang tepat 1 meter ada di belakang lelaki itu. 

Kutarik pelatuk, kutarik napas dalam-dalam, sambil mataku siap kupejamkan, sampailah pada nasib akhirmu lelaki laknat, begitu umpatku.  Mataku hampir saja terpejam ketika kulihat sekelebat bayangan hitam sebesar anjing, dari atas tebing bukit yang terjun menukik ke arah lelaki yang kubenci itu. Senapan menyalak, suaranya memecah sepi pesawahan desa kami.  Dalam situasi mata terpejam, kudengar suara tubuh berdebum jatuh berkecipak di air dan suara lelaki melolong-lolong minta tolong.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun