Ayahnya juga seorang pendeta, Pdt Lesman Purba dan juga menjadi  ephorus GKPS 1970-1972. Kiprah sebagai hamba Tuhan dilanjutkan oleh abang kandungnya Pdt M Rumanja Purba.
Mengabdi sebagai seorang pendeta GKPS yang sempat menjabat Sekjen 2 periode dan kemudian menjadi Ephorus yang masih dijabatnya sampai saat ini.
Dan Gidion bersama istri dan anak-anaknya nya tercatat pula sebagai jemaat GKPS. Sekali lagi penulis  ingin tekankan, ini bukanlah mewacanakan politik identitas tetapi secara psikologis masyarakat awam sangat tau Gidion berasal dari  keluarga pendeta, sosok yang dibesarkan di lingkungan GKPS.
Dan perilaku pemilih kita masih sangat mencari kedekatan  atau persamaan yang ada pada diri calon dengan dirinya. Cap dirinya sebagai anak pendeta GKPS menjadi modal psikologis yang akan mendorong warga GKPS memilihnya saat di TPS.
Tetapi sekali lagi GP tidak akan melibatkan GKPS dalam politik praktis. Dia tidak akan meminta dukungan dari kelembagaan GKPS.
Tetapi sebagai warga GKPS tentu wajar jika suatu saat kelak ia akan datang ke kantor pusat GKPS untuk meminta doa atas keinginannya menjadi pemimpin di Pemkab Simalungun.
Ephorus GKPS pun pasti akan menerima dan mendoakan calon bupati lainnya yang datang dan minta didoakan, bahkan andaikan si calon itu pun bukan warga GKPS atau bahkan bukan pula umat Kristiani.
Tidak ada yang salah dalam hal ini. Bukankah itu salah satu tugas gereja, mendoakan umat dan hal-hal baik lainnya. Soal marga, ini juga bukan  politik identitas tapi soal psikologis pemilih.
Salah satu marga terbesar di etnis Simalungun adalah Purba. Marga ini mendominasi beberapa wilayah dan ia ada di hampir seluruh nagori.
Memang sistem kekerabatan/sosial Simalungun mengenal dalihan na tolu. Artinya satu marga tidak bisa mendominasi marga lain karena di satu saat bila menjadi anak, di saat lain bisa menjadi boru atau tondong.
Ada keterkaitan marga yang satu dengan lainnya. Tetapi marga Purba mungkin saat ini punya pemikiran, "Inilah waktunya Purba si jolom suhul i tanoh Simalungun".