Mohon tunggu...
Analisis

Karpet Merah AHY

25 Juni 2018   19:24 Diperbarui: 25 Juni 2018   21:32 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rakyat tahu, SBY sedang menyusun jalan bagi AHY untuk maju di Pilpres 2019. Popularitas putera sulung itu dikerek habis, termasuk menyewa lembaga-lembaga konsultan, seperti Saiful Munjani Reasearch Consulting (SMRC) dan Poltracking milik Hanta Yudha.

Pasca kekalahan Pilkada DKI Jakarta, pada Februari 2018, kedua lembaga survei itu mendadak memasukkan AHY dalam orbit Cawapres 2019. Bahkan, posisinya di atas. Padahal di Pilkada DKI Jakarta 2017, AHY hanya mendapat 17,06 persen atau 937.955 suara dari total suara sah di putaran pertama. AHY pun tereliminasi. Angkat koper.

Sejak itu, promosi AHY sebagai Cawapres makin kencang. Tim lobi Demokrat menawarkan ke mana-mana. Termasuk Jokowi dan Prabowo. Namun, sayang   sampai hari ini, tidak satu pun yang tertarik mengambil tawaran itu.

Jalan darat bagi AHY juga disiapkan lewat pemenangan Pilkada 2018. SBY sadar betul, mesin politik Partai Demokrat gampang mogok. Susah jalan. Tidak terlatih. Maka, opsi memenangkan Pilkada 2018, menjadi pilihan masuk akal untuk menyiapkan AHY.

SBY berharap, kelak popularitas figur-figur di Pilkada 2018, akan mengatrol AHY, plus back up jaringan di daerah-daerah. Di Jawa Timur, ia menemukan figur itu pada Khofifah Indar Parawansa, yang saat itu Menteri Sosial kabinet Presiden Jokowi dan Ketua Umum Muslimat. Basisnya kuat di Jawa Timur.

Ditambah lagi Emil Elestianto Dardak, Bupati Trenggalek. Baru menjabat 2,5 tahun, namun bersedia meninggalkan rakyat Trenggalek yang memilihnya. Tipe Emil mirip AHY. Masih muda, dan kekinian. Suka popularitas dan narsis. AHY dan Emil berpendidikan barat, namun tidak punya akar di masyarakat. Tapi, itu soal gampang. Nanti bisa dikatrol habis-habisan melalui media?

Namun, di luar AHY, Partai Demokrat sebenarnya punya stok lain: Soekarwo. Gubernur 2 periode itu juga birokrat handal, menguasai pemerintahan dan punya networking kuat. Ia kader nasionalis, alumni GMNI. Ia punya relasi dengan elit-elit parpol lain, termasuk PDI Perjuangan. Soekarwo juga membina hubungan baik dengan ulama-ulama NU di Jawa Timur.

Soekarwo sering disebut punya kans maju Cawapres, bersama Jokowi, di 2019. Atau, ia bisa masuk menteri kabinet Jokowi. Sayang, Soekarwo bukan trah dinasti Cikeas. Ia tumbuh dari rakyat biasa. Tentu saja, SBY pilih AHY, putera sulungnya. Soekarwo bukan sanak-kadang. Masa jabatan Gubernur Jawa Timur bakal habis 2018. Karir Soekarwo harus selesai. Tidak ke pusat.

surat-kesepakatan-pakde-karwo-dengan-kiai-5b30fc3bcf01b45e73376ab3.jpeg
surat-kesepakatan-pakde-karwo-dengan-kiai-5b30fc3bcf01b45e73376ab3.jpeg
Perjanjian dengan Ulama

Surat Edaran Partai Demokrat Jatim ternyata telah membuat kiai-kiai NU bereaksi. Minggu 24 Juni 2018, keluarlah ikrar perjanjian lama, 12 Januari 2013, yang dibuat di Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Cukup lama dokumen itu tersimpan rapat di laci kiai.

Publik terhenyak. Ternyata ada perjanjian suci di masa lalu yang ditandatangani Soekarwo, Gus Ipul, yang disaksikan dan disetujui KH Zainuddin Djazuli, KH Nurul Huda Djazuli, KH Idris Marzuki, KH Anwar Manshur, dan KH Anwar Iskandar. Ikrar ditandatangani basah, dengan materai Rp 6.000. Sah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun