Mohon tunggu...
Sutriyadi
Sutriyadi Mohon Tunggu... Penulis - Pengangguran

Sekali hidup hidup sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sampah-sampah di Media Sosial Menjelang Pemilu

3 Oktober 2018   15:42 Diperbarui: 3 Oktober 2018   15:46 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: https://robit.id/

Sejak tahun 2014 silam media sosial mulai dikotori oleh berita-berita sampah. Dikatakan sampah karena tidak layak dikonsumsi publik. Timbulnya tulisan kotor itu dipicu oleh oknum jemari netizen yang kurang bertanggung jawab.

Bagi-membagikan konten dan berita yang tidak jelas sumbernya berdampak pada pola pikir kaula muda yang harapannya sebagai generasi emas, kini berubah menjadi generasi 'astaghfirullah'. Saling menghargai satu sama lainnya terkait perbedaan, kini menjadi harapan semu.

Hal-hal aneh yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, sekarang mulai muncul di luar akal dan budi manusia. Seperti adanya pengakuan sebagai ulama, adanya ulama versi A dan B. Ada yang teriak sebagai korban, ada pula merintih sebagai oknum.

Dari tuduhan 'selalu gagal', ada pula yang mengaku 'selalu berhasil'. Bencana yang mulanya sebagai cobaan, kini dipolitisir dijadikan serangan mematikan. Perbedaan semula keberagaman kini disesatkan. Memalukan!

Mereka berupaya menguasai opini publik sehingga segala cara mereka lakukan demi kepentingan politik. Melalui media sosial, berita dijadikan racun untuk membunuh lawan.

Berita yang semula renyah dibaca kini semacam ampas yang harus dimuntahkan. Semula jurnalis tegak jalannya lurus kini ada juga oknum jurnalis yang dapat disawer.

Mulanya, berita berupa fakta bukan opini. Warna dua istilah ini seperti putih dan hitam, jelas dan terang. Berita adalah sesuatu yang telah terjadi tanpa campur lidah dan bibir pembuat. Sedangkan opini merupakan buah pikir seseorang yang 'sok' tahu dengan hal-hal yang belum terjadi.

Sifat berita hanya sekadar informasi, bukan untuk memengaruhi. Sedangkan opini mereka paksakan sebagai berita, mereka berupaya agar pembaca atau pendengar terpengaruh dan percaya bahwa pendapat orang tersebut merupakan kebenaran tunggal. Sehingga sifat opini mulai menyempit, persis seperti iklan di tv.

Canggihnya lagi, sekarang bukan hanya ayam saja yang 'dadakan' pun banyak penulis berita pengamat era Wi dan Wo yang 'dadakan' mereka menjelma sebagai pesulap amatiran.

Ia membolak-balikkan rumus berita agar disebut fakta dan memoles opini agar cantik dan molek seraya menyerang psikologis pembaca, sehingga berahi seakan tersengat yang kemudian terpaksa menyetubuhinya hingga beranak-pinak. 'penulis berita dan pengamat dadakan' ini enaknya dipenyek dan diulek dengan sambal.

Di luar konteks di atas juga perlu hayati bahwa teori kebenaran banyaklah versi, di antaranya kebenaran tingkat indrawi, ilmiah, filosofis, dan religius. Sedangkan perang berita dan opini saat ini tingkat kebenaran indrawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun